Part 13

34.5K 1.7K 137
                                    

"Mamah nitip Anin ya, Rangga." Suara wanita di seberang telepon membuatku termenung.

Sikap Nyonya Arabel yang biasanya terdengar ceria kini diselimuti kecemasan, ada getar di dalam nada bicaranya yang membuatku semakin merasa bersalah.

"Maafin mamah karena ngerepotin kamu, apalagi kamu lagi berduka. Kamu beneran mau ke tempatnya Dokter Gita?"

"Iya bu, saya sedang menuju ke sana." Aku berbicara sedikit lantang, menyaingi suara deru mesin Bus yang kutumpangi.

"Mamah gak tahu kalau Dokter Gita ganti nomor telepon, mamah cuma tahu dia pindah praktik ke Bandung."

"Iya gak papa bu, saya masih ada waktu mampir ke sana sebelum pulang ke Jakarta." Aku berusaha memperdengarkan senyum dalam suaraku, ingin sekali membuat wanita di seberang panggilan tidak merasa terlalu cemas.

"Tapi Anin gak papa kan Rangga? Beneran mamah gak usah jengukin dia?"

Aku memejamkan mata, frustasi melandaku saat kuputuskan bertanya pada ibu tiriku terkait kondisi Anindira.

Aku tahu kalau nantinya Tante Arabel akan bersikeras menjenguk anaknya, padahal aku berencana ingin mencari tahu semuanya diam-diam, sebisa mungkin tanpa diketahui oleh Anindira, aku sangat tidak siap jika adik tiriku itu tahu apa yang sudah ia lakukan selama ini bersamaku.

"Untuk sekarang, saya pikir gak perlu bu. Selain karena Anin gak tahu kalau sleepwalking-nya kambuh. Saya juga masih harus mastiin sesuatu." Aku berkata hati-hati, sebisa mungkin membuat suaraku dapat dipercaya.

"Baiklah, mamah percaya sama kamu. Mamah juga dapet kabar kalo sekarang Anin lagi di rumah Caca, jadi mamah bisa sedikit lebih tenang." Getar dalam suaranya mulai berangsur menghilang, digantikan suara lembut yang biasa kudengar.

Aku diam-diam mendesah lega, tersenyum kikuk saat menutup telepon darinya.

Perjalanan menuju Bandung cukup jauh, aku sudah berada di Bus hampir 10 jam dan setelah sampai Bandung, aku harus mencari Rumah Sakit yang diberitahukan oleh ibu tiriku.

Bukan karena kami tidak mampu mencari dokter atau psikiater lain, tapi karena ibu tiriku mengatakan kalau Dokter Gita lah psikiater yang tahu persis seperti apa keadaan Anindira.

Dan di sinilah aku, memandangi kilatan-kilatan jalan dari balik jendela sambil termenung, memikirkan semua hal sendiri, memikirkan perasaanku untuk adik tiriku yang pemarah.

Ingin rasanya aku tidak peduli, tapi mendengar suaranya yang khawatir saat mengirimiku voice mail setelah tiga hari kami berpisah membuat hatiku benar-benar lebih tidak tahu malu.

Ia mulai berdetak berlebihan, memaksaku untuk terus memikirkan wajahnya yang cantik, membayangkan bagaimana interaksi kami selama dirinya kambuh.

Kemudian aku berpikir, seandainya adik tiriku bisa sembuh, aku ingin hal itu cepat terjadi karena aku tidak bisa mempercayai diriku sendiri, aku tak tahu berapa lama lagi diriku bisa bertahan jika Anin kembali menggerogoti sisi warasku.

Dan akupun tak tahu, apakah aku masih bisa berpura-pura kalau selama ini kami tidak terikat secara intim.

***

"Rangga Batara, silahkan masuk."

Aku berdiri dari kursi ruang tunggu, menghampiri seseorang yang memanggil nama lengkapku dari ruangan di ujung lorong.

Beruntungnya aku bisa tetap membuat janji temu dengan Dokter yang dibicarakan oleh ibu tiriku, aku sempat khawatir karena kupikir janji temu dadakan tidak diperbolehkan.

Kamar SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang