33. Juna's Bigest Fear

1.3K 243 13
                                    

Belakangan Juna insomnia. Pikiran yang berkecamuk kerap membuatnya terjaga semalaman. Seperti sekarang, pemuda itu terus bergerak di tempat tidurnya. Mencari-cari posisi nyaman supaya bisa menjemput alam mimpi. Namun, tidak peduli bagaimana pun tubuhnya berpindah letak, kantuk tak kunjung dirasa. Menyerah dengan usaha yang berakhir sia-sia, Juna pun menaikan kepala ranjang elektriknya agar bisa menyandarkan punggung.

Dia menoleh ke ranjang lain di mana kedua orang tuanya tertidur pulas, lalu bergeser sedikit pada Julian dan Yusuf yang terlelap di sofa dengan posisi kaki bertemu kaki. Yusuf meringkuk sedemikian rupa demi memberi Julian ruang lebih luas. Seberuntung itu memang orang-orang yang memiliki Yusuf sebagai kawan. Selain penyabar dan pengertian, dia juga tidak egois. Sering mengutamakan kenyamanan orang lain ketimbang dirinya sendiri.

Melihat mereka berempat berada di sini karenanya, Juna sukses dihinggapi rasa bersalah. Dia merepotkan dan membuat cemas orang-orang yang disayanginya. Terlebih sang bunda, tidak terhitung berapa tetes air mata yang jatuh karena menangisi kondisinya. Yang paling menyakitkan adalah, sekalipun diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, air mata beliau tetap mengalir. Lebih deras, seolah Bunda Yuna tidak percaya pada perkataan anak semata wayangnya.

Jangankan beliau, bahkan Juna pun ragu dengan perkataannya sendiri.

Setelah terdiam sejenak, tangan Juna bergerak ke balik bantal dan menarik sesuatu dari sana. Sebuah buku berukuran buku tulis biasa. Sampulnya berupa foto empat remaja yang menunjukkan ekspresi konyol ke kamera. Itu potret Juna, bersama Estu, Yusuf, dan Julian. Bersama ketiga sahabat yang Juna anggap berharga.

Juna mulai menulis beberapa minggu lalu setelah tahu seberapa ganas penyakitnya. Sudah lewat belasan hari, tetapi baru dua halaman yang terisi. Bukan sesuatu yang penting sebenarnya, dia hanya menggoreskan tinta tentang hal-hal remeh temeh. Curhatan yang terlalu malu dia utarakan kepada teman-temannya.

Semisal Juna berpulang lebih dulu, dia ingin meninggalkan sesuatu yang bisa dikenang tiga sahabatnya. Dari sekian hal yang bisa dibuat, menulis jadi pilihannya. Lewat untaian kata yang akan dia goreskan pada tiap halaman, Juna berharap mereka bisa merasakan kehadirannya. Jejak fisik yang semoga dapat menemani mereka hingga bertahun-tahun. Meski kertas itu akan usang dan rapuh di akhir, setidaknya kalimat-kalimat di dalam sana tetap abadi di ingatan Estu, Julian dan Yusuf.

Baru membuka halaman pertama, lenguhan Yusuf keburu menginterupsi kegiatannya. Melihat tanda-tanda sang sahabat terbangun, Juna segera menaruh bukunya ke balik selimut.

"Belum tidur?" tanya Yusuf, serak. Saat kesadarannya telah menyatu, dibenahilah selimut yang nyaris jatuh dari tubuh Julian, ditariknya hingga menutupi dada pemuda itu. Setelah memastikan kawannya tidak kedinginan, Yusuf pun mendekat
pada Juna sembari mengucek mata.

"Gak bisa tidur, Suf."

Yusuf yang duduk di tepian ranjang, melirik jam dinding. Pukul satu malam, tetapi Juna belum tidur sama sekali. Ternyata insomnianya tidak membaik. "Mau denger kisah Rasulullah dan para sahabat lagi?"

Lagi.

Karena nyaris satu bulanan ini Juna selalu menelepon Yusuf di jam dua malam. Banyak yang mereka bicarakan, tetapi seringnya membahas tentang hal-hal keagamaan. Mulai dari kisah-kisah heroik Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wassalam beserta para sahabat, sampai pada amalan ibadah sederhana yang dapat diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Tak pernah rasanya ia mengarungi malam yang lebih berfaedah dari itu.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang