7. Jangan Berharap

1.7K 345 49
                                    

Estu sedikit terlonjak saat selembar kertas dihempas keras ke pipinya. Itu surat panggilan orang tua yang sebelumnya ia berikan kepada Bunda Sari. Dilemparkan beliau setengah menit usai wanita itu membacanya. Ayah belum pulang, Malik pun masih di kampus, sehingga di ruang tamu kini hanya ada keduanya dikungkung keheningan. Panas di sisi Bunda Sari dan terasa mencekam bagi si bungsu.

Alasan Estu absen berkunjung ke kostan Tembok Merah Jambu malam ini; ia disidang pasal surat peringatan.

"Kamu preman, hah?" Intonasinya tidak tinggi, tetapi suara rendah nan dingin Bunda Sari berhasil membuat Estu menggigil. "Kamu mending berhenti aja sekolahnya, Estu. Malu-maluin. Bunda bilang apa kemarin-kemarin? Kalau gak bisa berprestasi, seenggaknya jadi anak baik. Udah bodoh, banyak tingkah pula. Gak malu kamu sama abangmu?"

Dalam posisi kepala yang menunduk, Estu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia salah dan sangat sadar akan hal tersebut. Namun, apakah bundanya harus bicara seperti itu? Sejahat itu? Hati Estu perih bukan main ditembak pernyataan begitu.

Suara detak jarum jam dinding mendadak terdengar horor. Padahal hawa di ruang tamu cukup dingin, tetapi kening Estu sudah basah oleh peluh. Di bawah, tangan anak itu meremas erat kain celananya. Jika Bunda Sari menariknya ke dalam situasi pelik begini, Estu merasa hidupnya berada di ujung tanduk. Bukan hiperbola, hanya saja kemarahan sang bunda bisa sangat menyakiti hatinya. Kata-kata beliau akan terucap kasar dan tersimpan dalam ingatan Estu untuk waktu yang lama. Membekas, bahkan beberapa berhasil mematahkan semangatnya.

"Bunda sama Ayah capek banting tulang buat biaya sekolah kalian, bisa-bisanya kamu membalas kami dengan kelakuan brengsek seperti ini? Kenapa, sih, Tu? Bunda salah apa sama kamu sampai kamu jadi kayak gini?" Bunda Sari memijit pelipisnya sambil menghela napas panjang. Ketimbang kemarahan, emosi yang beliau tunjukkan lewat gestur tubuhnya lebih ke kecewa. "Bunda salah apa, Estu?"

"Maaf, Bun," cicit Estu tanpa berani mempertemukan tatapannya dengan sang bunda. Jika ditanya siapa yang paling anak itu takuti, Ayah atau Bunda, sudah pasti opsi kedua akan dia jawab tanpa ragu. Jika Ayah marah, beliau masih bisa mengontrol kata-katanya. Berbeda dengan Bunda Sari yang blak-blakan dan sarkas.

"Sekarang, abis kamu minta maaf, apa masalahnya selesai?" Beliau meraih kertas yang tadi dilemparnya, lalu ditaruh ke atas meja dan dengan kasar dan menunjuk-nunjuknya. "Lihat! Enggak! Itulah pentingnya berpikir sebelum bertindak, Estu! Karena ada banyak hal yang gak bisa selesai dengan kata maaf. Makanya lain kali coba pikir dulu sebelum ngapa-ngapain. Jangan gegabah dan berakhir ngerepotin orang lain!"

"Iya, maaf. Estu gak akan ngulang lagi." Jantung anak itu serasa kena kejut kala suara gebrakan menghantam pendengarannya. Di depannya, Bunda Sari baru saja memukul permukaan meja dengan kuat. Bergema hingga ke penjuru ruangan. Membuat remasan Estu pada celananya kian mengerat.

"Awas kalau kamu sampai terlibat masalah begini lagi, Bunda gak akan ragu untuk ngusir kamu, ya, Estu!"

"Iya, Bun."

Bunda Sari bangkit setelah melempar surat itu sekali lagi, kali ini mendarat tepat di dada anak bungsunya itu. Sebelum berlalu, beliau sempat mengatakan sesuatu yang membuat Estu terpaku. "Bunda gak akan pergi besok, ayahmu juga enggak. Bilang aja sama gurumu kalau kami sibuk. Ingat, jangan minta bantuan Malik. Abangmu lagi sibuk sama kuliahnya. Mulai sekarang coba belajar selesaikan masalahmu sendiri. Di masa depan, Bunda sama Ayah akan mati, abangmu bakal punya urusannya sendiri, jadi kamu harus mandiri. Jangan ngerepotin orang-orang terus."

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now