1. Dua yang Dibedakan

8.1K 733 155
                                    

Kalau kamu tahu cara menghargai orang lain, kamu gak akan jadi sider.

***

Rumah adalah tempat pertama bagi seorang anak dalam menerima pelajaran. Baik buruk sesuatu, benar salah sebuah pendapat, semua dimulai dari arahan kedua orang tua. Namun, ketika pijakan pertamanya telah banyak memberi didikan yang keliru, bagaimana Estu bisa melangkah dengan percaya diri ke depannya?

"Kamu di sekolah ngapain aja sampai nilai pas-pasan gini, Tu?" tanya Ayah.

Mata si pemuda menyorot hampa permukaan meja, tidak menghiraukan pertanyaan retoris sang ayah. Sidang rutin di ruang tamu tiap kali Estu menerima raport adalah momen menyebalkan yang ingin remaja itu hapus dari hidupnya. Estu tidak sudi duduk di sini hanya untuk menerima pertanyaan basi yang berujung pada perbandingan. Andai ayahnya paham bahwa motivasi Estu mengejar nilai cemerlang telah pupus sejak lama.

Sejak Estu selalu dituntut untuk menjadi sempurna seperti abangnya.

Ayah Joni menghela napas berat sembari menaruh buku catatan nilai si bungsu ke atas meja, lantas menyandarkan punggung sebelum akhirnya menatap Estu yang masih belum mau mengangkat pandangannya. Beliau menyuguhkan senyap barang sesaat, membiarkan Estu bergelut dengan berbagai cercaan yang bergemuruh di kepalanya sendiri.

"Di keluarga kita enggak ada sejarahnya dapat nilai segaris KKM begini, Tu. Cuma kamu doang." Ayah membenarkan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Sesaat, beliau menjatuhkan tatap teduh pada puncak kepala Estu, kemudian mengusap pelan bahu si bungsu. "Ayah enggak minta kamu terbang setinggi abangmu, tapi bukan berarti Ayah memaklumi kamu yang bahkan enggak berusaha mengepakkan sayap. Kalian berdua anak Ayah, sama berharganya, sama hebatnya. Malik sudah membuktikan diri dan jadi kebanggaan keluarga, Ayah pengin kamu begitu juga."

Susah, sebab pada kenyataannya prestasi Estu tidak pernah dihargai. Dulu, ketika masih kecil, Estu pernah datang mengulurkan piagam juara satu lomba menyanyi, tetapi nihil apresiasi. Reaksi mereka sangat berbeda ketika Malik yang membawa pulang piala turnamen voli tingkat kabupaten bersama tim Sekolah Menengah Pertamanya. Si sulung langsung dihujani banyak hadiah. Bunda mengelu-elukan nama Malik pada tetangga, Ayah juga tak mau kalah pamer pada para rekan kerja.

Mereka memperlakukan Malik dengan istimewa, sarat sayang dan penuh perhatian. Sedangkan pada Estu, tatap bangga saja tidak diberikan, apalagi disanjung seperti demikian. Dari sana, Estu merasa tidak diinginkan. Meski dia punya banyak hal-hal baik untuk dibanggakan sekali pun, rasanya percuma sebab Ayah dan Bunda tidak pernah meletakkan bahagia mereka di bahu Estu. Bukan dia, tetapi Malik. Keluarga ini hanya tentang si sulung. Karena itu, si bungsu menyerah. Ia enggan lagi bersusah payah mengejar sebuah prestasi demi orang tuanya.

Estu mungkin egois, tetapi orang tuanya adalah pihak pertama yang mematikan harapan anak itu. Asa yang mestinya dapat dukungan supaya tetap menyala, justru malah dihempas kasar oleh perbuatan mereka yang kerap membanding-bandingkan. Cukup sekian, Estu memilih menjadi seadanya saja. Biarkan Malik yang menjadi kebanggaan keluarga. Sejak menyadari ketidakpedulian sang bunda, Estu jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya guna menghibur kesedihan diri diperlakukan macam anak tiri.

"Ayah, Estu, makan dulu." Dari ambang pintu yang menyekat ruang tamu dan ruang keluarga, Malik tiba-tiba bersuara. Entah sejak kapan dia berdiri di sana, tetapi dilihat dari gestur santainya yang menyandar pada kusen, lelaki itu tampaknya sudah memperhatikan cukup lama.

Ayah Joni mengangguk, lantas bangkit dan pergi menuju ruang makan. Sementara Estu belum bergerak sedikit pun. Dia betah memandangi namanya yang tertulis rapi di sampul raport. Dalam posisi kepala yang menunduk itu, Estu mengulas senyum miris. Merasa heran atas hatinya yang masih saja nyeri padahal sudah sering terjebak di situasi pelik seperti ini.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now