20. Bilangin.

1.3K 257 25
                                    

Estu percaya bahwa yang namanya kebetulan itu tidak ada. Peristiwa mengerikan yang terjadi malam ini pasti sudah digariskan takdir. Sukar dihindari. Berujung canggung dan mengejutkan mereka yang terlibat.
Skenario Tuhan sungguh tak terduga. Ketika Estu menilai Umi Sinta amat tabah dan sepertinya sangat shalihah, siapa sangka beliau justru menjelma wanita nakal perebut suami orang? Dari sekian banyak lelaki yang bisa menarik beliau ke dalam ikatan terlarang, kenapa harus ayahnya Julian? Kenapa dengan Pak Jeje?

Rumit sekali.

"Tadi itu beneran, Jun?" gumam Estu yang masih berharap peristiwa buruk satu jam lalu hanyalah mimpi. Estu sukar mencerna situasi, sungguh sulit percaya segalanya betulan terjadi.

Di samping pemuda tan itu ada Juna duduk selonjoran dengan punggung menyandar pada dinding. Tatapannya menyorot kosong kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Keduanya kini berada di teras mesjid Al-istiqamah, kompak termenung usai menunaikan salat Isya beberapa menit yang lalu. Hanya mereka berdua saja karena Julian langsung minggat begitu tahu siapa simpanan sang ayah, sedangkan Yusuf juga menyusul pergi bersama Umi Sinta tidak berselang lama kemudian. Meninggalkan Estu dan Juna yang kebingungan setengah mati.

"Sini gue tabok biar lo yakin yang tadi beneran." Juna lantas menghela napas sebelum menaruh sisi kepalanya di bahu Estu. Ia memejam, menikmati embusan angin yang menerpa wajah dan menerbangkan helaian poninya.

"Asu," cibir Estu.

Juna mendengkus.

"Sial, bisa-bisanya hal kayak gini kejadian." Estu mengurut pelipis sebab tiba-tiba saja keningnya berdenyut nyeri. "Hati gue sakit banget pas lihat Julian natap Umi Sinta pake matanya yang berkaca-kaca. Kebayang seberapa kecewanya dia. Orang yang dia anggap ibu kedua justru diam-diam malah jadi penghancur keluarganya." Lalu ditariknya napas dalam-dalam dan kemudian diembuskan perlahan, tetapi sialan, sesak di dada Estu tak juga meluruh. Malah kian menebal.

"Yusuf juga, Tu." Bayangan ekspresi getir Yusuf melintas di benak Juna. Perasaannya sungguh terkoyak mengingat tangan anak itu sedikit bergetar ketika menudungi kepala umi Sinta dengan kemejanya. "Yusuf juga gak mungkin baik-baik aja sekarang."

"Mereka sama-sama hancur."

"Lucu, ya?" Tawa sumbang Juna terdengar miris di antara suara samar deru kendaraan. "Setelah ini gimana hubungan Yusuf sama Julian coba? Temen lo yang narsis itu kan kalau udah benci susah banget memaafkan."

"Tapi wajar gak, sih, kalau Julian susah maafin? Gue aja yang gak ngalamin rasa-rasanya kecewa banget sama Umi Sinta. Kayak ... kok, bisa? Kok, tega?" Estu tidak habis pikir. Di saat Tante Riana sakit, Umi Sinta adalah satu-satunya orang yang ada di samping beliau. Lantas, apa segala kebaikan yang wanita itu lakukan selama ini adalah sebuah kepalsuan?

Estu merasakan kepala Juna mengangguk samar di bahunya.

"Gak nyangka. Padahal gue kagum sama kemandirian beliau. Hidupnya tegar banget ngebesarin dua anak tanpa suami. Best woman. Eh, ternyata ... emang, ya, pepatah yang bilang jangan nilai orang dari tampilannya itu benar," tambah Estu.

"Kekecewaan lo itu adalah salah diri lo sendiri, Tu. Lo bukan kecewa karena Umi Sinta, tapi lo dikecewakan oleh ekspektasi yang lo bangun sendiri. Lo terlalu gampang menyimpulkan kepribadian seseorang padahal cuma ketemu setengah jam perminggu, itu pun gak rutin tiap minggu." Juna membuka mata dan otomatis disuguhi pemandangan mobil beserta motor berseliweran di depan sana. "Padahal hidup manusia itu mirip kayak buku."

Bola mata Estu bergulir ke bawah, mencoba melihat wajah Juna, tetapi rambut anak itu menghalangi pandangannya. "Maksudnya?"

"Pas lo baca halaman pertama dan menemukan satu tokoh bersikap baik, jangan buru-buru menyimpulkan dia jelmaan malaikat. Siapa tahu di tengah cerita ternyata malah dia villain-nya."

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now