25. Tentang Yusuf dan Zulaikha

1.4K 260 13
                                    

Ini hari kelima setelah kepergian Tante Riana sekaligus hari di mana Julian kembali menapakkan kaki di sekolah. Kala sampai di kelas dan mendapati Yusuf berada di kursinya, Estu tidak kaget sama sekali saat Julian memilih duduk di bangku orang lain, jauh dari kursi yang biasa Julian tempati. Menghindari Yusuf terang-terangan.

Di tengah situasi yang serupa perang dingin ini, Estu berusaha jadi pihak netral. Tetap duduk di kursinya tanpa terpengaruh konflik yang sedang terjadi. Dia tidak condong ke sisi dari salah satunya. Hanya akan membiarkan mereka mengambil jeda serta waktu untuk merenungkan segalanya secara terpisah. Semoga keduanya dapat berpikir jernih di dalam kesendirian masing-masing.

"Julian udah putus sama kursi ini, jadi dia cari yang baru. Udah, ya. Jangan dipikirin, mending mikirin gue aja, Sya." Estu berkelakar ketika kawan di samping bangkunya bertanya alasan Julian tidak duduk di kursinya sendiri, malah memilih bangku paling depan dekat dengan meja guru, nekat sekali.

Diam-diam Estu berdecih melihat Yusuf sibuk main ponsel dengan earphone menyumpal telinganya. Itu pasti antisipasi supaya tidak ditanyai tentang ini. Anak-anak kelas jelas akan bertanya-tanya atas tingkah ganjil Julian. Pasalnya sepanjang sekolah di sini, baru sekarang Julian gamblang menunjukkan gelagat enggan kepada Yusuf. Biasanya anak itu akan mengekor ke manapun Yusuf melangkah. Menempel macam lintah.

Ditepuknya bahu Yusuf hingga atensi pemuda itu Estu dapatkan. "Juna tadi telepon gue, tapi gak sempat dijawab. Pas ditelepon balik gak aktif. GC kita juga kek kuburan. Dia ada nelepon lo?"

Yang ditanya langsung mengangguk sembari melepaskan earphone dari telinganya. "Ada nelepon gue juga. Ngasih tau mau ke Jakarta sekeluarga, mau kondangan ke nikahan saudara."

Estu mengernyit. "Perasaan itu anak kondangan mulu ke saudaranya, dah."

Yusuf angkat bahu tak acuh, lantas kembali menghadap ke depan. Kali ini buku paket jadi pilihannya untuk menyibukkan diri. Sementara Estu langsung menghela napas, tidak bisa menyangkal bahwa suasana ini sangat tidak nyaman. Tiap pagi, bangku di pojok kanan selalu berisik oleh suaranya dan Julian, ditambah bentakan Juna-kadang-kadang. Namun, kehebohan itu kini sirna digantikan hawa suram yang menggulung pekat di udara.

Tadinya Estu ingin menelepon Juna, tetapi urung begitu Julian bangkit dan mengedikkan dagu ke arahnya, mengode Estu untuk hengkang dari kelas. Estu mengangguk, lantas buru-buru berdiri. Ia menepuk bahu Yusuf sebelum menghampiri Julian.

"Ke mana?" Estu merangkul bahu Julian saat keduanya baru saja melewati ambang pintu kelas.

"Salat Dhuha."

"Alhamdulillah, Yaa Akhi." Estu cengengesan, senang sang sahabat punya inisiatif pergi ke sana. Biasanya juga salat sunnah Dhuha, tetapi harus diseret Yusuf dulu. Ternyata benar bahwa seseorang akan dekat dengan Tuhan di waktu-waktu tersulitnya. Estu tidak menghakimi tindakan tersebut karena dirinya juga sama saja.

"Juna absen hari ini," kata Julian.

"Lha? Lo tau?"

"Semalam pas lo masak mie, Juna nelepon gue. Ngasih tau mau ke nikahan sodara. Dua harian katanya."

Estu manggut-manggut, tetapi kernyitan tiba-tiba timbul di dahinya yang tidak tertutupi helai rambut. Belakangan dia memang hobi menaikkan poni, pasalnya Gista pernah bilang jika Estu dengan hair style begitu tampannya bukan main. Bikin melting. "Jam dua malam nelepon lo? Gak tidur itu anak?"

Julian menoleh, sepasang alisnya terangkat sekejapan. "Kenapa kaget? Dia udah sebulanan kena insomnia."

"Kok, gue gak tau?"

"Gue juga kata Yu-orang. Lo kan tau tetangga gue rajin Tahajud. Nah, dia sering ditelepon Juna di jam segitu."

Di tengah keheranan Estu mendengar berita ini, ada helaan napasnya lepas dengan berat. Dia menyadari Julian begitu enggan menyebut nama Yusuf. Diliriknya sekilas wajah sang sahabat yang fokus ke depan, tidak ada protes mengudara, hanya saja tatapan Estu jelas menyirat kekecewaan. Sedalam itu kebencian lo buat dia, ya, Lian?

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now