24. Proses Mengikhlaskan

1.2K 256 12
                                    

Kematian; hal pasti yang kala datang akan mencipta duka, dan buntut dari kehilangannya adalah terbentuk ruang kosong berlabel hampa. Kenangan-kenangan bertebaran; diingat bikin sakit, dilupakan tidak bisa. Obat rindu, soalnya. Ada yang butuh hitungan minggu untuk merelakan, banyak juga baru bisa ikhlas setelah lewati berbulan-bulan. Namun, beberapa orang selalu kekurangan waktu bahkan meski diberi masa sebanyak selamanya.

Dari semua yang disebut, Estu sungguh cemas Julian masuk kategori terakhir. Dilihat dari seberapa kacau situasi anak itu sekarang, Estu diam-diam marah pada dirinya sendiri yang merasa pesimis. Hidup segan mati tak mau, ekspresi tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi Julian saat ini. Tidak ada lagi binar di netranya yang menawan, pun dengan senyum yang senantiasa mengembang ramah; raib. Segala hal yang menguarkan aura positif di sisi Julian sepenuhnya lebur dilumat duka.

Estu menggeliat di atas ranjang, satu lenguhan lolos ketika ia mengangkat tangan untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Pemuda itu meraba-raba, kemudian tahu sekarang jam dua malam ketika ponsel di samping bantal berhasil dinyalakan. Pandangannya lantas diedarkan, tetapi dalam ruangan bercahaya remang tersebut tak Estu temukan keberadaan Julian. Padahal semalam sang sahabat merebah di sisinya. Ke mana Julian?

"Lian," panggil Estu, pada sang sahabat yang sudah empat hari tidur sekamar dengannya. Kala tak kunjung mendapatkan balasan, ia bergegas bangkit dan tergesa ke kamar mandi.

Kantuk yang semula amat berat menggelayuti bulu mata Estu kini lenyap ditelan perasaan cemas. Ia menarik kenop pintu, sayangnya terkunci. Itu berarti Julian ada di dalam. Mungkin sedang termenung seorang diri seperti dua malam sebelumnya. Malam-malam yang terasa panjang bagi Estu sebab harus menemani Julian yang tidak bisa tidur.

Tidak ada lagi tangis atau rintihan pilu. Julian hanya akan diam seperti patung, memandang kosong ke satu titik di depannya, dan itu bisa berlangsung hingga berjam-jam. Julian juga absen sekolah. Pokoknya tidak ke mana-mana, berdiam diri di kostan dari pagi sampai pagi lagi. Tak mau bertemu siapa pun kecuali Estu. Juna bahkan sempat kesal karena Julian enggan menemuinya. Estu khawatir anak itu jatuh sakit akibat jadwal makan dan tidurnya berantakan.

Hari pertama setelah Tante Riana berpulang, Estu memaklumi tingkah Julian yang banyak diam. Namun, makin hari anak itu makin redup. Kehilangan gairah dan semangat hidup. Estu mengerti kendati tidak paham persis bagaimana rasa sakitnya. Jika terus begini bisa-bisa Julian menyusul mamanya dalam waktu dekat. Lihat saja betapa kurus badan Julian, tulang selangkanya sampai jelas kelihatan. Bahkan kaos Estu yang biasanya ngepas di badan Julian kini longgar ketika pemuda itu kenakan.

"Buka, Lian!" Estu menarik pegangan pintu WC dengan brutal. Berharap suara berisiknya mengusik Julian dan akhirnya membuat anak itu sudi keluar. Jika Julian bersembunyi di dalam sana, Estu selalu berpikir tentang yang buruk-buruk. Ia ngeri kecolongan dan gagal melindungi.

Sekarang Julian sedang berpijak di permukaan yang amat rapuh; titik terendahnya. Pemuda itu berada di fase terburuk dalam hidupnya. Sugesti yang menggiring pikiran untuk mengakhiri napas sangat riskan hadir di benak Julian, membuat Estu cemas kala Julian tak terjangkau pandangan.

Estu mulai menggedor pintu dengan perasaan tidak karuan. Mengabaikan bunyi bising yang pasti mengganggu kamar tetangganya. "Julian, buka!"

Pintu berderit, Julian muncul di ambangnya. Sejenak, mereka saling tatap. Tanpa kata. Estu mengusap kasar wajah. Lega sekaligus frustrasi. Julian sendiri hanya berdiri di sana, memandang Estu dengan sorot lesu.

"Gue udah bilang kalau lo mau diem di dalam jangan pernah kunci pintunya."

"Iya."

Sepasrah dan sesingkat itu Julian memberi jawaban. Belakangan, apa pun yang Estu katakan akan selalu Julian iyakan meskipun pada pelaksanaannya tidak dia patuhi.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now