39. Lepas dari Rasa Sakit

1.7K 250 23
                                    

Firasat Estu jadi nyata. Kegelisahan yang sejak semalam mengekori pemuda itu bak bayangan, kini diketahui penyebabnya. Ketika dia hendak berwudhu di jam lima pagi, justru malah Estu dapati Juna tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi. Tubuh sang sahabat basah, hidungnya berdarah-darah. Wajah Juna yang pucat pasi serta denyut nadi lemah di pergelangan tangan kontan membuat seisi rumah kelabakan.

Julian langsung membopong Juna ke sofa, lantas berusaha membuatnya tersadar selagi Malik memanaskan mobil. Estu sendiri menelepon Om Wirawan dan Yusuf sambil mencari handuk dan pakaian untuk Juna.

Ketiganya panik luar biasa, lebih-lebih Estu yang sedari tadi malam sudah merasa tidak nyaman. Pikirannya dihajar tanpa ampun oleh dugaan-dugaan negatif. Apalagi Juna sempat bertingkah aneh, mengatakan hal-hal random yang menjurus pada keambiguan. Mendorong benak Estu untuk menarik satu kesimpulan menyakitkan; kemungkinan terburuk.

Estu benci pada dirinya sendiri yang semalam terbangun dan harus melihat Juna bertingkah lain dari biasanya. Bisa jadi ini Estu yang terlalu berburuk sangka dan tanpa sengaja menyugesti diri dengan pemikiran jelek, tetapi apa pun itu, semoga Juna baik-baik saja.

Ketika Estu kembali ke sofa, dia melihat Juna sudah dalam keadaan tanpa busana. Mungkin Julian yang melucutinya. Estu berjongkok di sisi sofa, sempat mengecek pergelangan tangan Juna sebelum mengulurkan handuk dalam genggamannya pada Julian. Dengan buru-buru Julian usapkan ke tubuh basah kawannya.

Baru hendak memakaikan baju pada Juna, teriakan Malik yang memberitahu mobil sudah siap pun menginterupsi niatan keduanya. Tidak ingin ambil resiko, mereka memilih membungkus tubuh Juna dengan selimut dan segera membawanya keluar. Dalam beberapa menit saja mobil Malik terlihat melesat meninggalkan halaman rumah.

Di perjalanan menuju rumah sakit, tidak ada satu pun yang bersuara. Mereka secara kompak membiarkan kesunyian berkuasa. Malik mencoba fokus dengan jalanan, Julian sibuk menyeka darah yang tak henti meleleh dari hidung Juna, sedangkan Estu masih berusaha menghubungi Yusuf yang tak kunjung mengangkat panggilannya. Dalam kebisuan masing-masing, benak ketiganya riuh melangitkan doa. Semoga-semoga yang dibisikkan dengan sungguh-sungguh.

Penuh pengharapan.

"Ada air gak?" tanya Julian.

"Buat apa?" Estu balik bertanya.

"Gue haus."

Estu tengok kanan-kiri, kemudian menemukan sebotol air mineral di door pocket. Dia membuka tutupnya sebelum diangsurkan pada sang sahabat. Kala tangan Julian yang terdapat bercak darah meraihnya, Estu sontak menangkap keganjilan. Baru dia sadari betapa banyak peluh menghiasi kening Julian, wajahnya juga pucat. Saat tangan itu terangkat menenggak air, dapat dilihat getaran samar mengguncang botol tersebut.

"Hei, tenang, Lian." Estu usap lembut bahu Julian. "Juna bakal baik-baik aja."

Julian mengusap keringat di dahi dengan lengan, lantas ditariknya napas dalam-dalam sebelum berujar, "Gue ngerasa dejavu, Tu. Situasi genting ini sama persis kayak pas gue bawa Mama ke rumah sakit. Tangan gue sampe tremor inget kejadian bulan lalu."

Perasaan khawatir yang meluap-luap ini terasa akrab bagi Julian. Jantung pemuda itu berdenyut nyeri, degupnya cepat seolah organ di dalam sana ingin melarikan diri. Detaknya menggedor kuat rongga dada, benar-benar sensasi menegangkan yang familier. Namun, kendati situasi ini tidak asing lagi, Julian masih tidak mampu mengontrolnya. Dia kewalahan mengendalikan hormon epinefrin-nya.

"Istighfar coba. Jangan panik. Ayo serahin semuanya sama Allah."

Mulut Julian bergerak tanpa suara, melafalkan istighfar berkali-kali. Dia memejam demi meyakinkan diri bahwa yang sempat terjadi beberapa waktu lalu tidak akan terulang hari ini.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now