15. Be There for You

1.3K 262 19
                                    

Semalam Julian mengirimi Windi pesan, menanyakan hendak ke universitas mana ia melanjutkan pendidikan. Julian pikir Windi bakal memilih UIN, ternyata Al-Azhar Kairo adalah kampus impian gadis itu. Julian sempat mencandai Windi bahwa dirinya juga akan bersekolah di sana bersama Yusuf. Ia murni membual, sebab dari segi apa pun Julian tidak ada persiapan sama sekali. Beda dengan Yusuf yang sudah kursus bahasa Arab sejak jauh-jauh hari dan menghafal Al-Quran sebagai salah satu syarat mengikuti tes seleksi beasiswa. Sampai kemudian Windi berkata, "Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka akan dipahamkan-Nya hamba tersebut ilmu Agama. Tau dan paham beda, ya, Julian. Nah, aku, tuh, mau memahami, jadi aku mutusin untuk studi di sana. Sebenarnya di sini juga bisa, tapi aku pengin nyari pengalaman. Menjejak bumi para Nabi. Woah, merinding!"

Semalam, Julian merespons ucapan Windi dengan kekehan pelan, tetapi diam-diam benak pemuda itu bergemuruh. Ada yang terbakar di dadanya. Semacam keinginan untuk menyamai apa yang bakal Windi jalani. Studi di Al-Azhar sungguh tidak pernah terbesit di pikiran Julian walaupun tahu Yusuf mengidam-idamkannya. Tak ingin jauh dari Mama, tak ingin jauh dari kawan. Itu alasannya. Namun, tadi malam ia merenung. Membayangkan diri mengambil keputusan besar dalam hidup bukankah akan sangat keren?

"Weh! Lo kesambet apaan, Lian?!"

Begitu tanggapan Estu ketika Julian tiba-tiba nyeletuk ingin melanjutkan pendidikan bersama Yusuf ke Kairo.

Julian sudah menimang-nimang peluang dan lama waktu untuk mempersiapkan diri sebelum mengikuti tes masuknya. Tersisa sekitar lima bulan lagi sampai hari kelulusan. Jika Julian mau bersungguh-sungguh belajar, ia yakin bisa membersamai Yusuf studi di sana.

Siang itu, di meja kantin yang ditempati enam orang siswa-siswi, tidak ada satu pun dari kelimanya yang tidak terkejut. Bahkan Yusuf sampai berhenti mengunyah sepersekian detik selepas Julian bersuara. Karin terbatuk hebat hingga Nirmala kelabakan menepuk-nepuk punggungnya. Sementara Juna bereaksi datar-datar saja seolah pemberitahuan mencengangkan itu tak berhasil mengusik rasa herannya.

"Nyet!" Estu jadi yang paling antusias sekaligus penasaran. "Kok, bisa? Gimana ceritanya? Lo dapet wangsit, kah? Atau gimana, dah? Kayak ... mendadak banget! Kaget pisan aing!"

"Muncrat, bodoh!" sentak Juna yang siang itu kebetulan duduk di samping Estu. "Emang apa anehnya mau kuliah di sana, hah?! Bagus hidupnya ada kemajuan. Gak kayak lo yang ngebucin mulu. Nih, Tu, gue kasih tau. Gista, walaupun lo sapa tiap pagi sambil senyum-senyum sok kecakepan, itu cewek gak bakal sudi jadi pacar lo!"

Nirmala yang duduk si sebelah Juna kontan cekikikan. "Siang-siang emang enaknya marah-marah, ya, Mas Jun."

"Diem," sahut Juna ketus.

"Ampun." Nirmala setengah sungkem.

Di sisi lain Karin dan Yusuf kompak menyimak dalam diam. Keduanya memang lebih senang memperhatikan.

Sementara Estu yang kena semprot memilih mengabaikan. "Lian, gue beneran penasaran. Kenapa tiba-tiba banget? Padahal kemarin lo bilang mau lanjut di Bandung aja." Estu dan rasa ingin tahunya yang menggebu memang tidak akan berhenti bertanya sebelum dapat jawaban memuaskan.

"Karena iseng aja."

"Serius, atuh, kasep." Estu berdecak kesal, lalu tanpa pikir panjang melempar pangsit terakhir dari mangkuknya. Pelengkap santap bakso itu melayang sepersekian detik sebelum jatuh membentur pipi Julian. Alih-alih tersinggung dan balas dendam, di momen itu Julian tumben-tumbenan malah memungut pangsit tersebut, lantas dicelup sedikit ke kuah baksonya dan berakhir masuk ke mulutnya sendiri. "Julian, oi! Oi!"

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now