28. A Lies

1.5K 279 26
                                    

Pelangi mungkin tidak selalu hadir usai hujan, tetapi Estu bersyukur derasnya masalah di hari kemarin berbuah warna indah pagi ini. Julian dan Yusuf kembali akrab, lebih dekat ketimbang sebelumnya. Benarlah seseorang yang bilang; semakin pelik perseteruan menggulung dua orang yang berkawan, maka semakin erat tali yang mengikat persahabatan mereka. Jika setiap selisih paham bisa ditemui titik tengahnya, kelanggengan pertemanan jadi jaminan. Mungkin tidak selamanya, karena selamanya sendiri adalah kosakata fana. Kerap disebut-disebut, tetapi tidak pernah ada satu pun kaki yang menapakinya.

Masalah memang tidak sepenuhnya selesai, tetapi mereka kini paham bahwa yang terjadi bukan kehendak dan tidak berada di bawah kendali keduanya. Baik Julian dan Yusuf sudah kehilangan kepercayaan terhadap orang tua, jangan sampai mereka kehilangan satu sama lain juga.

"Yaa Allah ... ini manusia makin hari makin cakep aja. Heran," gumam Estu, sambil menatap kagum layar ponsel yang menyuguhkan potret Gista tengah tersenyum dengan mata memejam. Perpaduan pesisir pantai dan semburat jingga di kala senja jadi panorama yang membingkai sempurna pesona perempuan itu. Dia mesem-mesem, lantas menambahkan, "Masyaa Allah ... cantik banget, dah!"

Juna, yang pahanya dijadikan bantal oleh Estu lantas merunduk dan tanpa aba-aba menyentil dahi kawannya itu. Dia berdecak sinis melihat sang sahabat cengengesan. "Gue lebih heran kenapa Gista sudi pacaran sama lo. Udah childish, bego, rese banget jadi makhluk, langganan ditagih bendahara kelas ... kalau gue sebut semua keburukan-keburukan lo kayaknya enggak bakal kelar sehari."

"Astaghfirullah." Estu mengusap dada, tetapi pandangannya tidak beralih dari layar ponsel. "Ternyata gue enggak ada bagus-bagusnya di mata lo, ya, Jun?"

"Lha? Baru nyadar?"

Estu mendongak hanya untuk menemukan tampang datar Juna beserta lirikan ogah-ogahannya. Iseng, dijawilnya dagu si pemuda ketus itu dengan gerakan centil. "Gini-gini gue jago bikin orang ketawa. Hidup lo pasti bakal hampa kalau gue gak ada."

"Lo tau kenapa lo jago bikin orang-orang ketawa?" tanya Juna.

"Karena gue lucu, yee, 'kan?" Estu menjawab sambil cengengesan.

"Bukanlah, pede!"

"Terus?"

"Cause you're jokes itself."

"Babi! Nusuk sampe pankreas!" Meski ternistakan, Estu tetap mengumbar tawa. "Ambil positifnya aja, yang penting bikin orang-orang ketawa."

Putaran bola mata jadi balasan, Juna tiba-tiba punya inisiatif membenturkan kepala Estu pada batang pohon yang kini dia sandari. Sangat disayangkan, dia terlalu malas merealisasikan niatannya. "Iyain aja biar gak bacot. Suka-suka elo, dah."

Estu tertawa, disimpannya ponsel ke saku celana training. Lantas, ia memejamkan mata. Embusan angin dan sedikit cahaya matahari yang lolos dari celah daun membelai wajahnya, ampuh sekali mengundang kantuk, padahal hari baru saja dimulai, ini masih terlalu pagi untuk bermimpi.

Sementara temannya berusaha memasuki alam bawah sadar, Juna setia memaku pandang ke lapangan di mana Julian dan Yusuf tengah lari ke sana-sini mengejar bola. Keduanya akur dan kompak seolah di hari kemarin tidak pernah terlibat pertengkaran hebat. Untuk hal itu, Juna sangat-sangat mensyukurinya.

Juna sendiri selonjoran di tepian lapangan, di bawah naungan pohon rindang karena merasa tidak enak badan. Estu yang katanya menjunjung tinggi solidaritas malah ikut-ikutan.

Sebenarnya dalam diamnya Juna ada banyak sekali pertanyaan. Ia merasa heran pada Yusuf yang sejak beberapa hari ke belakang jadi kelewat perhatian. Biasanya juga peduli, tetapi akhir-akhir ini agak keterlaluan. Yusuf jadi banyak bicara. Terus-terusan mengingatkan tentang jadwal minum obat. Keteraturan makan. Bahkan menanyakan hal aneh seperti; mual atau tidak. Seolah Juna sedang hamil saja. Pokoknya bikin kesal. Nyaris saja Juna tabok kepala sahabatnya itu.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now