14. Teror

1.3K 268 16
                                    

Teriakan demi teriakan terus lolos dari bibir Julian, memenuhi ruang tamu kostan dengan kebisingan, memekakkan telinga orang-orang yang membersamainya menonton pertandingan bulu tangkis di layar kaca. Sejatinya Yusuf saja yang harus menebalkan kesabaran, sebab Estu bertingkah sama berisiknya. Sesekali Estu dan Julian kompak mengumpat keras ketika The Minions kehilangan angka. Juna absen bergabung malam ini. Orangnya sedang pulang ke rumah karena Om Wirawan, ayah pemuda itu, memintanya untuk ikut menghadiri undangan pernikahan saudara di Lembang. Menginap dua harian.

Indonesia Open tahun ini berlangsung meriah, amat disayangkan sebagai tuan rumah hanya mampu meloloskan dua wakil ke final. Dari sektor ganda putra dan tunggal putra saja, sisanya belum bisa berbicara banyak di ajang bergengsi yang masuk salah satu turnamen dengan hadiah terbesar ini.

"Tangan Kevin geraknya lincah banget, anjir. Apalagi depan net, sat set sat set! Skill yang harus gue punya buat nampar mulut-mulut busuk manusia yang hobi nyakitin gue, tuh!" komentar Estu menggebu-gebu. Mata pemuda itu berbinar antusias menyaksikan permainan cantik yang disuguhkan si pasangan terbaik dunia di sektor ganda putra. Kebanggaan Indonesia yang namanya sudah malang melintang di perbulu-tangkisan dunia.

Dari sisi kanannya, Julian mengangguk setuju sambil terkekeh. Bayangan Estu menabok orang-orang dengan gerakan seluwes tangan Kevin bermain di depan net, berhasil menyentuh titik gelinya. Terlalu lawak untuk terjadi.

"Entar gue jadi suporternya, Tu."

Estu menoleh demi melayangkan tatapan penuh arti pada Julian, sejurus kemudian tangannya bergerak ke dekat telinga kanan seolah siap mendengarkan bisikkan, "Say what?"

Si tampan dalam balutan kaos putih polos yang rambutnya masih agak basah bekas air wudhu itu langsung menjawab tanya sang sahabat dengan kelewat semangat, "Ea! Ea! Ea!"

Mendengar kedua temannya serempak tertawa seraya mengadu tepukan tangan di udara, Yusuf hanya tersenyum tipis dibarengi gelengan pelan. "Buat apa ditampar, Tu?"

"Biar gak bacot!" sahut Julian sewot.

"Gue, sih, ogah repot-repot nampar mulut orang buat bikin mereka diam. Mending tutup telinga aja, lebih gampang." Yusuf yang duduk di bawah, menyandar pada tepian sofa persis di antara celah kaki Julian, sedikit menengok ke belakang demi melihat Estu. "Hidup itu penuh sama pro-kontra. Selurus apa pun kita ngejalaninnya, yang punya hati bengkok pasti bakalan tetap gak suka. Capek, Tu, kalau nurutin ego dan balas perbuatan mereka. Gak akan ada habisnya. Jadi fokus aja ke diri sendiri."

Julian mendesah panjang. "Serius amat, Suf." Lantas, dia pegang pipi Yusuf untuk diarahkan ke depan supaya fokus ke permainan lagi.

"Gue dengerin omongan lo aja, Suf," kata Estu. Toples berisikan keripik pisang yang tinggal setengah lantas pemuda itu turunkan dari pahanya.

"Yusuf suka bohong, Tu. Mending dengerin omongan gue aja." Hanya butuh dua detik bagi Julian untuk dicibir Estu usai berujar begini.

"Omongan lo kayak angin, gak bisa dipegang." Estu celingak-celinguk, mencari keberadaan seseorang. "Perasaan dari Maghrib gue gak lihat Karin. Biasanya kan jam segini ngintilin lo, Lian. Doi ke mana, dah?"

"Di dapur sama Lala, sama Gista juga. Mereka lagi bikin kue," balas Julian tanpa menoleh. "Anjir! Anjir! Anjir! Keren banget, cuy! Asik, gue suka gaya tengilnya si Kevin. Songong bukan maen, patut ditiru." Kekehan pemuda itu mengakhiri kalimat pujiannya. Namun, dia kembali berteriak kala The Minions berhasil mengobrak-abrik pertahanan lawan, mencetak satu angka dan membuat perolehan poin kian cemerlang bagi Indonesia.

Konsentrasi Estu pada pertandingan sudah buyar sehingga bereaksi seadanya saat Indonesia kembali mencetak angka. Sekarang, dia lebih penasaran pada fakta bahwa gadis berperilaku tomboi macam Karin tengah berjibaku di dapur, memasak sesuatu yang tidak identik dengan penampilannya yang serupa lelaki.

[✓] Y O U T H | Aesdream |Where stories live. Discover now