Mobil terus melaju dan meninggalkan Versailles yang tidak terlalu riuh. Membawa Gemintang dan Angger yang menyalami bapak tiri Gemintang yang akan kembali ke rumah.
Terhempas di ruang tunggu Bandara Udara Internasional Charles de Gaulle. Angger memeriksa sekali lagi paspor dan tiket mereka dan meletakkannya di pangkuan Gemintang yang mendongak ke arahnya. Masih menyisakan 1 jam 20 menit lagi sebelum mereka terbang.
"Aku cari kopi dulu Mi. Mau ikut?'
Gemintang menggeleng saat Angger mengulurkan tangannya. Tangan mereka bertaut ketika Gemintang menyambut uluran tangan Angger walaupun dia tidak ingin ikut. Angger tertawa pelan.
"Tunggu sebentar."
"Huum." Gemintang kembali mengangguk. Tautan tangan mereka terlepas dan Angger berbalik. Gemintang menatap punggung Angger dan terus mengamati hingga pria itu menghilang dari pandangannya. Tangan Gemintang bertaut dan dia menunduk menekuni tangannya yang sangat dingin. Pikirannya kembali dipenuhi dengan kekhawatiran tentang keadaan bapaknya. Pasti bapaknya itu tidak makan teratur, terlalu lelah dan sering begadang sampai pada akhirnya dia ambruk. Gemintang memang berbalas pesan dengan Putri yang meluangkan waktu untuk secara khusus memeriksa keadaan bapaknya namun dia tetap saja tidak tenang. Apalagi ketika Putri mengatakan bahwa bapaknya sedikit bandel dan terus mengatakan dia baik-baik saja. Bapaknya menolak tidur di rumah sakit.
Gemintang kembali mendongak ketika Angger datang dan mengulurkan satu cup kopi ke arahnya.
"Nuwun Mas."
"Minum Mi." Angger melesakkan bokongnya ke kursi dan mereka mulai menyesap kopi masing-masing.
"Mas...ada yang salah sama mataku. Kamu lihat? Pria itu...terus itu...dan itu...aku pikir itu Mas Galih." Gemintang menunjuk tiga orang pria yang memiliki perawakan sama dengan Galih yang duduk cukup jauh dari mereka.
"Kamu masih sering kaget Mi?"
Gemintang mengangguk. "Susah Mas. Aku perlu ketemu psikolog kayaknya."
"Nanti aku yang atur Mi."
"Huum."
Mereka berdiam diri dan sesekali berbicara dengan berbisik. Sampai akhirnya pemberitahuan penerbangan mereka berkumandang memenuhi lounge bandara itu. Mereka beranjak cepat dan berdiri mengikuti antrian yang mengular.
Penerbangan yang sangat panjang dan menyesakkan terlebih pikiran Gemintang yang dipenuhi rasa khawatir. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan mengabaikan genggaman tangan Angger yang menenangkan.
Dan
Menginjakkan kaki kembali setelah stransit di Jakarta dan meneruskan penerbangan ke Yogyakarta. Matahari sudah meninggi saat Gemintang turun dari taksi dan memasuki halaman rumahnya. Gemintang menatap sekelilingnya dan melihat tidak ada yang berubah. Taman depan rumah terlihat terawat rapi dengan kembang kertas yang sudah berganti. Studio lukis bapaknya juga terlihat dibuka dan sudah berganti warna cat tembok dan pintu.
"Mi."
Gemintang menoleh dan mendapati Putri yang berjalan cepat menghampirinya.
"Put. Bapak gimana?"
"Mendingan. Lagi makan. Gimana kabarmu? Sama Mas Angger?"
"Iya Put."
Mereka berjalan masuk ke ruang makan sementara Angger membayar taksi dan menyempatkan diri menyapa tetangga depan rumah Gemintang. Mereka terlihat mengobrol sesaat sebelum Angger masuk ke halaman rumah.
Angger terhenyak ketika mendapati Hilmawan Desembriarto berdiri di depan pintu rumahnya dengan Gemintang dan Putri yang mencoba membuat pria itu tenang.
YOU ARE READING
DARI BALIK KELAMBU
神秘 / 驚悚Angger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...
Dua puluh tiga PULANG
Start from the beginning