Kakinya mundur ke belakang seiring Handoko yang berjalan maju. Entah mimpi apa dia semalam sampai seharian ditimpa kesialan. Yang pasti detik ini dia ingin teriak sekencang mungkin.

Wiu...! Wiu...! Wiu...!

Suara sirine polisi terdengar membuat dua orang tua berusia hampir setengah abad itu menoleh ke sumber suara. Terlihat ada banyak polisi yang berpencar sambil menodongkan senjata. Mereka menelusuri setiap tempat guna menemukan incaran.

Bu Marni sudah ingin berteriak minta tolong namun suaranya tercekat di tenggorokan saat Handoko menodongkan pistol tepat di dahinya.

"Teriak lah dan bilang sama mereka kalau sang buronan ada di sini. Maka dalam satu kali tarikan otakmu akan keluar dari tempatnya."

Sekali lagi Bu Marni dibuat terkejut. Buronan? Benarkah di depannya ini adalah orang yang sedang dicari oleh polisi?

*****

"Lapor, Pak. Kami sudah di tempat di mana terakhir kali Handoko terlihat."

"Oke. Temukan dan tangkap dia. Jangan sampai Handoko kembali mencelakai orang."

"Baik, Pak."

"Oh iya. Perintahkan sebagian anggota untuk memantau putri dari Ferdy Atmadja. Saya punya firasat buruk padanya."

"Siap, Pak."

Polisi itu mengakhiri percakapan. Dia kembali mencari keberadaan Handoko sama seperti yang lain. Tidak lupa dia memerintahkan dua orang anggotanya untuk pergi menemui putri Ferdy Atmadja.

Mata kelam polisi itu menangkap adanya seorang wanita paruh baya yang berdiri tepat di ambang pintu sebuah warung kecil. Terlihat heran bercampur takut menonton banyaknya polisi yang berlalu lalang.

Akhirnya kaki sang polisi melangkah menghampirinya. Menyadari hal itu Bu Marni langsung dilanda ketakutan yang amat sangat, bahkan tangan yang berpegangan pada pinggiran pintu sampai bergetar hebat.

"Selamat siang." Pak Polisi memberi hormat pada Bu Marni.

Wanita paruh baya itu tak menjawab. Lidahnya kelu, belum lagi keringat dingin yang bercucuran di sekujur tubuhnya membuat dia jadi tak berdaya di depan polisi.

"Tak perlu takut, Bu," ucap polisi itu menyadari ketakutan yang melanda Bu Marni. "Kami mencari seorang buronan yang melarikan diri dari penjara."

"Bu-buronan?"

"Iya. Seorang pria dengan kasus pembunuhan. Apa Ibu melihat orang mencurigakan di sekitar sini?"

Bu Marni menggeleng kuat, "Dari tadi tempat ini sepi. Cuman ada saya saja yang tengah jaga warung." Mata Bu Marni tak berani menatap polisi itu.

Pria itu menatap curiga Bu Marni. Kepalanya sedikit miring, ingin tahu apa saja yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun Bu Marni dengan sigap menghalanginya, tak membiarkan polisi melihat isi warungnya.

"Tadi warung saya sudah diperiksa sama tiga polisi. Itu sebabnya saya takut. Saya takut dituduh macam-macam padahal saya tidak melakukan kesalahan apa pun."

Polisi itu mengangguk, "Saya mau memeriksanya sekali lagi."

Bu Marni membulatkan mata. Dia menggeleng keras menolak keinginan polisi tersebut. Namun sang polisi memaksa. Dia mendorong tubuh Bu Marni menjauh lalu menelusuri setiap sudut warung itu.

"Darah?" Polisi berjongkok menyentuh darah yang berceceran di lantai.

"I-itu darah ayam. Saya pedagang bubur ayam tentu saya membutuhkan ayam untuk bahan dagangan saya."

Pandangan polisi beralih. Di sana memang terlihat ada ayam mati dengan bekas goresan di lehernya akibat di sembelih. Masih segar dan berbulu.

"Potong ayam sendiri, Bu?"

Bu Marni mengangguk ragu.

Polisi itu masih curiga dengan Bu Marni namun tak khayal mengangguk juga. Dia kembali merogoh HT dalam sakunya lalu mendekatkannya ke bibir.

"Semuanya bergegas ke kediaman Ferdy Atmadja."

"Siap, Pak."

Setelah itu dia kembali mengantongi benda tersebut. Matanya menatap intens Bu Marni sekali lagi yang dibalas wanita paruh baya itu dengan tundukan takut.

"Selamat siang," ucap polisi lalu pergi meninggalkan warung dan langsung masuk ke dalam mobil polisi yang membawanya ke kediaman mendiang Ferdy Atmadja.

Bu Marni terduduk di kursi. Tangannya memegang dada merasakan jantung yang berdetak kencang, napasnya juga tersengal saking takutnya.

Untuk pertama kalinya dia berbohong dalam masalah besar. Dan paling parah orang yang dia bohongi adalah polisi. Bu Marni jadi takut jika suatu saat akan diseret ke kantor polisi karena ketahuan menyembunyikan hal besar.

Krek....!

Suara pintu kayu bergerak terdengar. Terlihat sebuah kaki keluar dari dalam gerobak besar milik Bu Marni, disusul anggota tubuh yang lainnya menyusul hingga terlihat bentuk sempurna yang berdiri tegap.

"Pergi! Jangan ganggu saya lagi!" seru Bu Marni.

Handoko tersenyum miring.

"Saya sudah menolong anda. Jadi sebagai imbalannya saya minta anda jauh-jauh dari saya."

"Dan jangan libatkan saya jika terjadi sesuatu pada anda suatu hari nanti," lanjut Bu Marni terengah.

Handoko tertawa, "Semoga kita tidak akan bertemu lagi," katanya menodong pistol ke arah Bu Marni.









_________________

Bersambung.....

My ChikoWhere stories live. Discover now