Tak lama ia menahan napas tak percaya. "Leya?"

Di atas tempat tidur tersebut, ada seorang gadis yang berbaring lemah dengan napas teratur. Wajah yang memiliki sedikit kemiripan dengannya itu adalah kembarannya, Leya. Itu kembarannnya!

"Ley! Bangun Ley!" Geri mengguncang tubuh gadis itu, mencoba membangunkannya atau setidaknya memberikan respon kecil. Namun tak ada yang terjadi.

Ia menurunkan tangannya, menatap kembarannya lalu mencium seluruh wajah gadis itu dengan kegembiraan tak terhingga. "Lo masih hidup, Ley. Lo masih hidup." Geri menangis haru dengan kenyataan ini.

Kembaran yang selama ini ia anggap sudah tak ada, malah tengah terbaring lemah di rumah Vena. Tapi sebentar! "Rumah Vena?"

Geri tersadar akan sesuatu. Ia mengepalkan tangannya erat hingga menimbulkan urat hijau kebiruan. "Vena! Pasti cewek itu 'kan yang nyuri lo? Dia 'kan yang bawa lo ke sini? Jawab Leya!"

Laki-laki itu mengecup kening Leya sekali lagi. "Ley ... gua bakal balas dendam sama tuh cewek. Gua bakal bunuh dia, Ley."

Geri memperbaiki selimut yang digunakan Leya, lalu berbalik, berniat menemui seseorang. Namun pergerakannya terhenti, karena keberadaan seorang gadis yang berdiri di ambang pintu.

"Ger ... lo mau ke mana?" Tanpa menghiraukan Nabila, Geri terus berjalan dan melewatinya begitu saja. "Tunggu Leo."

Deg!

Nama Leo selalu membuat Geri luluh. Ia berbalik, menatap Nabila yang memancarkan wajah tenang. "Mau bunuh Vena?"

"Kalau udah tahu kenapa nanya?"

"Sebaiknya jangan," ungkap Nabila dan berhasil membuat Geri naik pitam.

"Jangan?! Lo gila ya? Sahabat lo disekap sama cewek gila itu dan lo gak ngelakuin apa-apa? Apa Leya gak berharga lagi buat lo? Apa Leya udah gak sepenting itu gara-gara Vena?!" Rentetan kalimat itu membuat Nabila terdiam.

Ia mengepalkan tangannya sambil meredakan emosi yang sudah bergejolak. "Kalau lo bunuh Vena, maka Leya gakkan selamat!"

Alis Geri menyatu, kemudian laki-laki itu tersenyum miring. "Gakkan selamat? Maksud lo?"

Nabila menghela napas pelan. "Coba lo lihat kondisi Leya. Menurut lo, dia tidur, pingsan atau ... koma?" Pertanyaan itu mengundang raut bingung di wajah Geri, namun tak urung ia mendekat kembali.

Diperhatikannya sang kembaran yang terbaring lemah di atas tempat tidur, lalu berucap. "Pingsan?" Ucapannya bukanlah pernyataan tapi lebih mirip pertanyaan. Nyatanya, ia pun sedikit ragu.

"Adakah orang pingsan selama bertahun-tahun, Catleo Fageri?" Senyum miring terbit di wajah Nabila, membuat laki-laki itu menghela napas.

"Koma." Dan kali ini ia terlihat yakin.

"Adakah orang koma tanpa peralatan medis, Leo? Apa lo pikir dia bisa bertahan hidup tanpa peralatan medis?" Geri mematung di tempat. Itu benar. Ia kembali menatap Leya lalu menghela napas. Apa mungkin ... tidur?

"Tidur?"

"Silahkan bangunkan dia. Terserah dengan cara apa, dan kita lihat dalam 2 jam. Akankah dia terbangun?" Laki-laki itu kembali mematung. Tadi ia sempat mengguncang tubuh Leya, namun gadis itu tak kunjung bangun.

Tatapannya beralih pada Nabila. "Bil ... dia kenapa?" Kini Geri semakin panik. Ia mengguncang tubuh Nabila, meminta gadis itu menjelaskan semuanya.

"Jiwa Leya ada di tubuh Vena."

Tubuhnya menegang. Ia menatap Nabila tak percaya. "Hahaha gak lucu, Bil."

"Gua gak bohong!" Tawa Geri seketika berhenti. Ia menatap Nabila dengan raut tak terbaca. Antara tak percaya dan percaya dengan ucapan gadis itu. "Raga Leya kosong, Ger. Jiwanya masuk ke tubuh Vena."

"Transmigrasi jiwa? Gi-gimana bisa?" Bagaimanapun kenyataan ini adalah hal yang paling tak masuk akal. Perpindahan jiwa? Yang ia tahu hanyalah perpindahan penduduk.

"Berarti ... kita harus bunuh Vena, supaya jiwanya Leya kembali. Iya 'kan?" Nabila menggeleng, membuat Geri semakin frustasi. Bagaimana jika kembarannya tak kembali.

"Mau mendengar cerita?" Laki-laki itu mengangguk cepat. Ia ingin tahu kisah yang lebih jelas, agar dapat memahami semua ini.

"Lo tahu kesempatan kedua?" Alis Geri menaut. Ia jelas tak tahu apa itu. "Gini ...."

Keduanya larut dalam cerita dengan posisi berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu mendengar dengan seksama sambil menahan gejolak emosi di dadanya.

Cerita Nabila membuatnya ingin menangis. Banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Vena yang menjadi tempat jiwa dari Leya bersemayam. Tapi ... mungkin itu akan sulit dilakukan.

"Jadi Ger ... apa lo mau jujur?"

Geri terdiam. Ia menunduk sambil mempertimbangkan sesuatu. Apakah ia akan bercerita segalanya, atau semua akan tetap ia rahasiakan?

Tak lama ia mengangguk setuju, membuat Nabila tersenyum senang. Faktanya, Nabila sudah tahu kebenarannya, namun mendengar dari orangnya langsung terasa lebih baik.

"Leo."

Suara itu mengalihkan atensi keduanya. Jantung Geri berdetak cepat kala melihat Vena berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kecil.

Geri ingin berlari lalu memeluk gadis itu. Tak peduli kalau itu tubuh Vena. Yang penting jiwanya adalah jiwa Leya. Tapi ... ia tak bisa melakukannya, karena takut Vena tak suka.

Namun isi pemikirannya pupus saat Vena merentangkan tangan, dan dengan semangat yang membara Geri langsung menghambur ke pelukan tersebut.

"Ley," panggilnya lirih dengan tangan yang melingkar erat di tubuh Vena. Tangisnya seketika pecah, saat sebuah usapan lembut mendarat di rambut legamnya.

Beberapa menit lamanya, namun Geri tak kunjung melepas pelukannya. "Bentar lagi. Rindu gua masih belum tersampaikan." Vena mengangguk singkat. Ia pun merindukan Geri, karena bagaimanapun, laki-laki itu adalah kembarannya.

"Gua bakal cerita walau udah terlambat." Laki-laki itu menatap Vena dengan senyum hangatnya. "Maaf udah berbohong, Ley."

Misteri terpecahkan xixixi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Misteri terpecahkan xixixi

Jadi ... udah tahu ya kalau Vena adalah kembarannya Geri. Ada yang kurang jelas?

<<<<<__________>>>>>

Jangan lupa vote dan koment

⏰Makasih⏰

-11 Agustus 2021-

Second Chance: Last Mission (End)Where stories live. Discover now