02 - SULIT DIPERCAYA

546 159 419
                                    

NB : SEBELUM BACA, HARAP VOTE DAN SPAM NAMA DAMAR DI SINI. JANGAN LUPA KOMENTAR DI SETIAP PARAGRAF!

 JANGAN LUPA KOMENTAR DI SETIAP PARAGRAF!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 2 - SULIT DIPERCAYA

[Aku bukan ingin membenci kehadiranmu, aku hanya kecewa atas semua perbuatanmu. Aku pernah percaya, namun luka yang kau beri tak kunjung reda.]

*****

Damar masih berusaha sebisa mungkin untuk menjauh dari tempat ini. Berjalan dengan pelan sembari memegang pipinya yang sangat panas akibat tamparan dari Hendra. Tenaga lelaki ini sepertinya mulai habis, karena siang tadi dia belum makan. Lambungnya kosong, tak ada yang bisa dicerna.

Langkahnya sudah lumayan jauh, namun letak kamar juga masih beberapa meter lagi dari posisinya sekarang. Rumah ini terlalu luas dan megah untuk dijelajahi satu persatu.

Hendra kembali berjalan menuju Damar, dengan raut wajah yang sangat sadis dan kejam. Tak ada yang mengerti apa maksud dan tujuan lelaki itu yang sebenarnya.

"Cepat masuk ke kamar!" desis Hendra begitu kencang, membuat Damar semakin ringkih.

"I... Iya, Yah!" Damar menjawab sangat lirih, spontan membuat Hendra naik darah.

Hendra menarik tangan Damar begitu kasarnya, ia menyeret Damar tanpa memikirkan apa yang sedang anaknya rasakan. Damar tak bisa menghentikan perlakuan ayahnya yang semakin sadis itu. Mulutnya membisu, tak mampu berucap. Air matanya semakin mengalir deras tak terkendali.

Ini sangat sakit, Hendra terus menyeret tubuh Damar dengan posisi terbaring. Sekarang bukan hanya pipinya yang merasakan panas, tapi juga punggungnya yang menjadi alas seperti sedang terbakar.

"Jangan kelayapan! Istirahat di kamar, dan ini tas kamu! Kalau besok kamu masih berani pulang sore, ayah akan menyiksamu lebih keras dari ini!" ancam Hendra.

BRAKK

Hendra menutup pintu kamar Damar dengan kencang. Terdengar suara mengunci di sana. Sepertinya Hendra sangat marah hingga tak ingin anak semata wayangnya ini keluar dari kamarnya.

Damar pasrah, tak peduli apapun yang terjadi di sekitarnya. Damar meringkuk di atas lantai yang sangat dingin. Matanya terpejam erat, namun tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Gigi-giginya saling bergemelatuk menahan rasa sakit.

Dengan sisa tenanganya, Damar menggerakkan tangannya. Mencoba meraih tas untuk mencari keberadaan ponselnya. Damar mengetikkan sesuatu di sana, dengan mata yang sedikit terbuka secara terpaksa. Ia menghubungi Reyhan, sahabatnya.

"Halo, Rey," panggilnya lirih, berharap Reyhan bisa memberikan pertolongan.

"Iya halo, Dam! Lo kenapa, suara lo lirih banget!" balas Reyhan, bertanya balik.

TENTANG DAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang