"Kita hancurkan satu lagi." Sosok berjubah itu kembali maju, menggoreskan banyak luka di setiap jari gadis itu, hingga remuk atau setidaknya patah.

Kini ke sepuluh jari kakinya sudah mengeluarkan banyak darah. Sungguh pemandangan yang indah bagi sosok berjubah tersebut.

Tanpa disangka, ia menendang kursi usang tersebut, membuat gadis yang digantung kehilangan pijakannya dan alhasil tercekik, karena lehernya diikat dengan tali di langit-langit ruangan.

Wajah gadis itu memerah, ia mencoba melepas ikatan pada lehernya sembari merintih kesakitan. Hal seperti ini membuat sosok berjubah itu tertawa senang. Ia suka pertunjukkan bertahan hidup seperti ini.

Tak lama gadis itu mulai melemah. Tangannya yang sedari tadi mencoba lepas mulai terkulai. Wajahnya yang memerah sudah mulai memucat, menandakan kalau sudah tidak ada nyawa di sana.

Sosok tersebut hanya tersenyum miring dan meninggalkan mayat gadis itu di sana tanpa mau menurunkannya.

Ia menghampiri rekannya yang tengah sibuk dengan koleksi kepala manusianya. "Leo." Sosok tersebut memanggil rekannya sembari duduk di kursi kebesarannya.

Yang bernama Leo berbalik. Wajah laki-laki itu ditutupi oleh sebuah masker hitam. "Lo bisa suruh kanibal lo makan tuh cewek."

Laki-laki itu mengangguk dan menyuruh beberapa anak buahnya untuk memakan mayat gadis tadi. Leo mengikuti mereka dari belakang sambil melihat bagaimana mereka mengonyak daging tak bernyawa itu.

"Leo ... jangan lupa membersihkan lantainya."

Ia mengangguk. Masalah lantai ... itu mudah.

•••••

Entah ini kebiasaan baik atau buruk. Belakangan ini, Vena suka keluar dari asrama pukul 11 malam dan akan kembali pukul 12. Sungguh kebiasaan yang baru dan buruk.

Dan tempat yang biasa ia datangi adalah rooftop. Di sini, ia bisa puas melihat bintang ditemani udara dingin yang menurutnya cukup menyenangkan.

"Gua pikir lo pembunuh itu. Gua sampai bawa balok besar loh." Ia menoleh pada sumber suara yang tengah menggenggam balok besar dengan raut wajah kesal.

"Kalau lo mau pukul ... yah silahkan." Vena membalikkam bedan, mengintruksi Daniel untuk memukul tengkuknya dan membuatnya pingsan.

Bukannya memukulnya dengan balok, Daniel malah mengelus tengkuk Vena, membuat bulu kuduk gadis itu meremang karena geli dan ... entahlah. Ia bingung menjabarkannya.

Ia langsung berbalik lalu menatap sinis laki-laki yang ada di depannya. "Kenapa? Ketagihan?" tanyanya sambil menaik turunkan alis, menggoda.

Tanpa memperdulikan keberadaan Daniel, Vena kembali fokus menatap ke depan sambil menerawang tentang bagaimana ia di kehidupan berikutnya.

Lamunannya mendadak buyar kala tangan besar Daniel mengelus surainya dengan lembut. "Gak usah mikirin sesuatu yang buat lo pusing." Tangannya masih setia mengelus surai Vena. "Lebih baik mikirin gua 'kan?"

Vena mendengkus kesal, lalu kembali fokus ke depan, membiarkan Daniel mengelus surai panjangnya.

"Lo ... gimana sama rencana lo?" tanya Vena setelah lama tak membuka suara. Pertanyaannya membuat Daniel mengeryit tak paham.

"Rencana?" Vena mengangguk. "Rencana buat ngeluarin gua dari sekolah ini. Lo ... udah bersumpah." Daniel terdiam. Ia menurunkan tangannya dari kepala Vena sambil menatap lurus ke depan.

Jujur, ia sudah lupa akan rencana itu dan sudah tidak ada niatan untuk melakukannya lagi. Lagipun Vena gadis yang baik seperti ucapan Nathan. Ia berguna dalam kasus ini dan juga dalam ... hatinya? Mungkin.

"Udah gua lupain," ucapnya santai. Vena yang mendengar itu hanya bisa mengangguk. Ia tersenyum tipis, lalu bergumam begitu pelan. "Apa dia pikir sumpah bisa dibatalkan begitu saja?"

"Lo kenapa keluar asrama jam segini?" tanya Daniel sambil menatap Vena dari samping. Yang dilakukan Vena adalah menggedikkan bahunya.

Hal ini sudah jadi kebiasaannya. Jadi ... ia tak punya alasan pasti.

"Gua mau balik." Vena menatap Daniel sekilas. "Lo masih mau di sini?"

"Ya." Vena mengangguk paham. Ia meninggalkan Daniel yang masih berdiam diri di dekat pembatas rooftop tanpa mau menoleh padanya.

Langkah kaki Vena tidak membawanya menuju asrama, melainkan lab Ipa. Entah kenapa ia berniat ke sini, setelah kejadian mengerikan itu. Apalagi jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.

Cukup berani.

Dari arah depannya ada sekitar 5 orang berdiri berjajar. Vena tersenyum miring. "Mana bos kalian?!"

Tak ada satupun yang menjawab pertanyaannya. Suara geraman dan erangan penuh nafsulah yang mengisi kekosongan ruangan tersebut.

Kelima orang tersebut berlari ke arahnya sambil menggeram layaknya orang kelaparan, sementara Vena tak menghindar atau pergi dari tempat itu.

Ia seakan menunggu hari kematiannya. Ia seakan mengantarkan nyawanya pada maut yang sudah siap mendekap tubuhnya. Entah apa yang ada di pikirannya yang penting ini semua gila.

"Datanglah."

Saat jarak salah satu di antara mereka dan Vena sudah dekat, ada yang menarik tangannya. Membuatnya kembali pada kesadaran yang sebenarnya.

Tangannya dicengkram erat sambil dipaksa untuk berlari menjauh dari 5 orang yang terus mengejar.

Dilihatnya seseorang yang menarik tangannya dan ternyata seorang wanita. Berambut sebahu, memakai jaket hitam. Vena ... seakan mengenal postur tubuh ini.

Setelah mereka berhasil lolos, Vena langsung melepas genggaman tangan itu dan menatap orang yang baru saja membawanya pada kesadaran sesungguhnya.

Bola matanya melebar setelah melihat wajah gadis itu. "Lo?!"

Kira-kira siapa yang nyelamatin Vena?

Ουπς! Αυτή η εικόνα δεν ακολουθεί τους κανόνες περιεχομένου. Για να συνεχίσεις με την δημοσίευση, παρακαλώ αφαίρεσε την ή ανέβασε διαφορετική εικόνα.

Kira-kira siapa yang nyelamatin Vena?

Kenepa Vena bego banget datang ke tempat itu?

<<<<<__________>>>>>

Jangan lupa vote & komen

🎲Makasih🎲

-4 Agustus 2021-

Second Chance: Last Mission (End)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα