Serlia kembali tersenyum. Ia tampak merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan sesuatu. Diberikannya barang yang ia ambil tadi pada Arinda.

Arinda tentu bingung. "Jaga gelang ini, Bu. Jika ada yang datang untuk memintanya sambil membawa buku hitam ini, maka berikanlah, Bu."

"Ada apa dengan gelang ini, Lia?" Gadis berambut panjang itu kembali tersenyum. "Entahlah, tapi aku merasa ... akan ada hal buruk."

Arinda mendadak tak tenang. Serlia sudah seperti anaknya. Mendengar penuturan Serlia tentang hal buruk membuatnya hatinya terasa sesak.

Tak lama kemudian, Serlia menepuk lembut lengan Arinda lalu menciumnya. "Aku pergi dulu, Bu. Oh, ya. Jangan berikan gelang itu pada siapapun, kecuali seseorang yang datang sambil membawa buku hitam ini."

Setelah itu, Serlia bergegas pergi. Namun, sebelum itu terjadi ia sempat berhenti beberapa langkah dari Arinda yang masih memaku sambil menatap punggungnya.

Serlia berbalik lalu tersenyum simpul. "Akan ada pembalasan dendam setelah kepergianku. Dan mungkin ... dia adalah adikku."

Itulah penuturan Serlia sebelum benar-benar hilang ditelah jarak.

"Hari itu. Hari di mana gelang ini sampai di tangan saya. Hari itu juga Serlia ditemukan meninggal dunia." Vena terdiam mendengar penuturan wanita parubaya di hadapannya.

Apalagi penuturan yang mengatakan kalau adik Serlia yang akan membalas dendam, membuat Vena semakin yakin dengan spekulasinya. Adik Serlia. Gadis itu harus ditemukan secepatnya!

"Kisah yang cukup pilu," komentar Vena. Ia menatap Arinda yang tampak sedih? Entahlah. Tampaknya wanita itu memang tengah dilanda sedih. "Ibu ... tidak mengenal adik Serlia?"

Arinda menggeleng. Ia jelas tidak tahu! Adik Serlia itu seperti hantu. Ada, namun tak kasat mata.

"Kamu tinggal mencari gelang yang sama dengan gelang itu. Atau ... bagian yang hilang dari foto Serlia." Vena mengangguk singkat, lalu bangkit dari duduknya. "Terima kasih atas infonya."

Setelah itu Vena keluar dari ruangan Arinda sambil membawa buku, gelang dan foto Serlia, meninggalkan Arinda yang memandang punggungnya dengan senyum simpul.

"Semoga berhasil, Vena."

•••••

Selama perjalanan menuju gedung Ips, ia tak henti-hentinya mendapat tatapan penuh selidik dari anak Ipa. Mungkin mereka merasa penarasan atau tak suka. Entahlah, Vena tak tahu.

"Jangan lupa! Lusa kita ke wahana bermain!" Vena tersentak kaget dengan kemunculan Fina yang tiba-tiba. Sudah seperti makhluk astral saja, bahkan yang ini lebih menyeramkan.

"Hm." Ia berdehem singkat tanpa mau memperpanjang pembicaraan ini. Membosankan! "Gua ikut ke kelas lo ya? Mau ketemu Geri."

Vena kembali berdehem. Biarlah Fina mengikutinya ke kelas. Terserah gadis itu! Ia sudah lelah.

Sementara keduanya terus berjalan, di belakang mereka-lebih tepatnya beberapa meter di belakang mereka-ada dua orang tengah menatap langkah keduanya.

"Fina. Apa yang harus kita lakukan padanya?" Rekannya tersenyum miring, lalu berucap. "Kita biarkan saja dulu. Jika ada kesempatan, kita akan membunuhnya."

"Oke. Gua menunggu hari kematian mereka semua."

Ada yang punya tebakan tentang siapa pembunuh itu?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada yang punya tebakan tentang siapa pembunuh itu?

Jangan lupa vote & komen:)

🎬Makasih🎬

-31 Juli 2021-

Second Chance: Last Mission (End)Where stories live. Discover now