Tatapan Vena langsung jatuh pada Arinda, kemudian ia mengangguk. "Kamu punya bukti?"

Vena menggeleng. "Nyatanya, aku masih ragu."

"Secara tidak langsung kamu sudah menuduhnya." Sorot mata Vena menghalus seketika. Ia menatap Arinda sambil tersenyum kecil. "Aku bukan menuduh. Keraguanku bukan sebuah tuduhan tanpa bukti."

Ia menjeda ucapannya sambil menatap Arinda. "Keraguan ini justru membawaku pada cerita yang sesungguhnya. Kalau keraguan ini kuabaikan, maka aku kehilangan sebuah kebenaran. Aku akan kehilangan titik terang dan jalan keluarnya." Sorot matanya yang penuh harap ia tunjukkan pada Arinda. "Bantu aku, Bu."

Arinda tersenyum simpul. Ia bergerak dari tempat duduknya menuju sebuah foto yang terpajang indah di dinding. Diturunkannya foto tersebut, dan dapat dilihat ada sebuah brankas di sana.

Wanita itu tampak memasukkan kata sandi, lalu membuka brankas tersebut. Vena dapat melihat buku-buku bertumpuk rapi di sana.

"Ini yang kamu cari." Arinda meletakkan sebuah gelang berwarna hitam di atas meja. Dapat dilihat jika gelang itu memiliki nama. 'SR. Serlia Rasya.' Itulah yang tertulis di gelang tersebut.

"Kamu tinggal nyari gelang yang sama persis dan juga bertuliskan SR." Vena mengangguk singkat. Ia mengambil gelang tersebut, lalu menyimpannya.

Arinda kembali ke tempat duduknya. "Apa kamu punya foto Serlia yang disobek?" Vena kembali mengangguk. Ia mengeluarkan sebuah foto dari sakunya, lalu menunjukkannya pada wanita tersebut.

"Kamu gesit juga mengumpulkan semuanya." Ucapan penuh pujian itu hanya dibalas Vena dengan anggukkan. Sebenarnya, ia ingin menanyakan sesuatu pada wanita itu, dan tentunya tentang Serlia. "Kenapa ... Kak Serlia mempercayakan semua ini padamu?"

"Entahlah, tapi Serlia menganggap saya ibunya." Alis Vena saling menaut. Ucapan Arinda ... sedikit membingungkan baginya. "Kamu tak tahu rupanya."

Wanita itu terkekeh pelan. "Orang tua Serlia adalah pekerja keras, namun ayahnya suka mabuk-mabukan. Awalnya, ibu Serlia memaklumi hal itu. Namun lambat-laun dia mulai muak dan memilih untuk melakukan hal yang sama."

"Ketika ayah Serlia mabuk, maka ibunya akan pergi ke klub-klub malam dan menjadi seorang jalang. Awalnya semua itu ia lakukan hanya untuk membuat suaminya sadar, tapi lambat-laun semua itu jadi kebiasaan. Orangtuanya tidak pernah lagi bekerja, dan memperhatikannya."

Arinda tersenyum simpul, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Mungkin, dulu saya banyak memberinya perhatian, sehingga ia menganggap saya orangtuanya."

Kini Vena mengerti mengapa Arinda memiliki barang penting ini. Tapi ... masih ada yang ingin ia ketahui. "Gelang ini. Bagaimana bisa ada ditangan, Ibu?"

"Ah, itu ...."

Arinda tengah berjalan seorang diri sambil membawa beberapa tumpuk buku milik murid-muridnya.

Dari arah berlawanan, datang seorang siswi sambil memberikan senyum manisnya. "Bu Arinda!" Siswi itu berseru saat sudah ada di hadapan Arinda.

"Serlia, eh? Muka kamu kelihatan murung. Ada apa, Lia?" Siswi bernama Serlia tersebut tersenyum simpul, lalu menggeleng. "Buku apa tuh?" tanya Arinda kala melihat sebuah buku bersampul hitam ada di genggaman Serlia.

Second Chance: Last Mission (End)Where stories live. Discover now