Orang-orang sudah mulai mengelilingi Zahra dan Valetta, bahkan Axel terlihat cepat bergerak menelepon ambulans.

Valetta tidak tau harus melakukan apa. "Zahra, apanya yang sakit?"

Valetta menatap pisau yang menancap di perut Zahra.

Valetta takut. Bukan takut karena darah atau pisau yang ada di perut Zahra. Valetta takut Zahra kenapa-kenapa.

"K-kakak..." Napas Zahra mulai sesak. Ia seakan tak bisa menghirup udara dengan normal.

"Ra, m-matanya jangan ditutup." Valetta mengusap kepala Zahra yang kini dibanjiri keringat.

"Maafin Zahra, y-ya?" tanya Zahra.

"Enggak ada yang perlu Kakak maafin, kamu enggak ada salah. Jadi, bertahan. Bertahan."

"K-kak, tadi Kakak m-mau bilang apa?" lirih Zahra.

Valetta menggenggam erat tangan Zahra. "Zahra, jangan ngomong, sakit, kan?"

"Zahra m-masih bisa nahan kok,"

"Kakak marah s-sama Zahra?"

Valetta menggeleng. "Enggak, Kakak gak mungkin marah sama kamu."

Zahra tersenyum tipis. Lega mengetahui Valetta tidak marah.

"M-makasih, Kak..."

Memang sakit rasanya. Perut Zahra nyeri, tapi Zahra tidak peduli. Ia hanya ingin mendengar perkataan Valetta yang tadi terpotong agar bisa tenang.

"WOI! JANGAN DI SINI SEMUA!"

"KASIH JALAN SAMA PETUGAS!"

Teriakan orang-orang tak dikenal terdengar. Tampak beberapa laki-laki membawa tandu.

"Mbak, permisi, kami harus membawanya ke gerbang agar saat ambulans datang bisa cepat dibawa," ujar salah satu petugas.

Valetta membiarkan tubuh Zahra diangkat oleh pria-pria itu. Saat tandu dibawa pergi, Valetta juga ikut menyusul. Axel mengambil tas Zahra yang tergeletak di lantai sebelum dirinya ikut menyusul.

Ambulans datang beberapa menit setelah Zahra dan yang lainnya menunggu di gerbang.

Valetta langsung masuk ke mobil ambulans. Sedangkan Axel, Valetta suruh ikut dengan mobil saja karena memang tidak diperbolehkan banyak orang masuk ke ambulans agar tidak pengap.

"Kakak, makasih b-buat hari ini, Zahra bisa rasain s-sesenang ini, Zahra bersyukur..."

Perawat yang duduk di belakang ambulans mulai memasang alat-alat tertentu agar Zahra dapat sampai ke ruang operasi dengan keadaan masih hidup.

"Zahra, matanya dibuka terus, ya," lirih Valetta.

Zahra tidak dapat menjawab karena sudah mengenakan alat bantu pernapasan. Namun, tangan Zahra menggenggam erat jemari Valetta.

"Bertahan, Ra."

***

Anya melangkah terburu-buru.

"Sial sial sial sial..." gumam Anya berusaha menghindar dari segala manusia yang berjalan di tempat dirinya sekarang berada.

"Lagi dan lagi, anak pelacur itu membuatku sial!"

Anya berlari menuju halte terdekat. Ia akan berlagak seperti biasa.

Tidak ada yang melihat tindakannya barusan, kan?

Tidak ada.

Valetta Valetta Valetta... Dia harus mati, aku tidak mau tau!

Indigo Tapi Penakut | ENDWhere stories live. Discover now