ツ|Chapter 42

74.5K 16.7K 5.9K
                                    

sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ
ᴠᴏᴛᴇ , ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ , ғᴏʟʟᴏᴡ

Anya panik.

Sudah empat hari dan dirinya masih belum mendengarkan kabar apa pun soal Zahra.

Tidak mungkin Anya terus berbohong pada Nathan. Nathan pastinya akan tau.

"Anya."

Nathan pulang lebih cepat dari biasanya. Wajah Nathan terlihat muram.

"N-nathan? Tumben kamu pulang cepat," ujar Anya sedikit gugup. Anya berjalan menghampiri Nathan, membantu Nathan mengangkat tas kerjanya.

"Sudah tidak dapat lagi tertolong."

Satu kalimat tersebut berhasil membuat Anya membelalakkan matanya kaget.

"M-maksudmu?"

"Tidak ada lagi upaya yang bisa mempertahankan perusahaan. Pemegang saham juga semuanya memutuskan untuk undur diri," ujar Nathan seraya mengacak rambutnya kasar.

"Rumah ini hanya dapat kita tinggali sampai minggu depan. Mulai hari ini kita harus siap-siap pindah," tambah Nathan.

"Pindah ke mana?"

"Ke mana lagi? Tentu ke rumah Vancia. Untuk sementara saja."

"Apa benar-bebar tidak ada tempat lain?"

Anya sebenarnya tidak mau pergi ke rumah Vancia. Pergi ke sana dapat menurunkan harga dirinya.

"Jangan banyak bicara, Anya. Kamu yang tidak mau pindah ke rumah sederhana. Siapa yang kaya dan masih mau membantu kita sekarang? Hanya Vancia." celetuk Nathan dengan dahi yang mengerut.

Anya mengepal tangannya. "B-baiklah."

Nathan melenggang pergi. Langkahnya berhenti di depan tangga. "Di mana Zahra? Sudah tiga hari dirinya pergi dan belum kembali, dia harus mengemas barang-barangnya."

"D-dia masih menginap di rumah temannya," jawab Anya, jantungnya berdebar cepat.

Nathan menatap Anya beberapa detik. Tingkah Anya sangatlah aneh. Wajar jika Nathan curiga.

"Suruh dia cepat pulang."

Anya mengangguk. Dalam hati dirinya sudah merutuki nasib sialnya. Jika tau hilangnya Zahra akan bernasib seperti ini. Ia mungkin akan lebih serius dalam pencariannya.

Kini hanya ada Anya di ruang tamu. Anya menghembuskan napasnya kasar.

Anya tidak tau harus mulai dari mana...

Apa aku laporkan hal ini ke polisi?

Anya menggeleng. Jika ia laporkan ke polisi, bukankah tindakan kekerasan yang ia lakukan juga mungkin terbongkar?

Tapi jika Zahra diculik... Anya bisa menuduh bahwa luka-luka itu disebabkan oleh si penculik.

Tidak. Polisi tidak sebodoh itu!

Mereka pasti bisa tau sejak kapan luka-luka itu muncul. Pada akhirnya Anya akan ketahuan.

Ingin rasanya Anya lupakan soal Zahra. Biar saja anak itu menghilang. Jika mati pun, Anya tidak peduli.

Yang Anya bingung adalah apa yang harus dirinya katakan pada Nathan. Jika Nathan tau Zahra menghilang, tentu Nathan akan memanggil polisi.

Memang anak sialan itu menyusahkan, gerutu Anya dalam hati.

Indigo Tapi Penakut | ENDWhere stories live. Discover now