Vena menegakkan tubuhnya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya. "Serlia? Lo Serlia 'kan?"

"Kamu cukup pintar." Dengan segera Vena memalingkan wajahnya. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya. Entah kenapa, tapi ia merasa marah.

Tatapannya kembali pada tempat kosong itu. "Lo tahu siapa pembunuh itu 'kan?! Kasih tahu gua."

"Jangan mencari tahu tentangnya, atau kamu dan teman-temanmu akan menjadi korban." Bisikan menyebalkan itu kembali terdengar. Vena mengepalkan tangannya. Ia menatap bengis tempat hawa mencekam itu.

"Kenapa? Kenapa lo gak mau ngasih tahu? Karna pembunuh itu adik lo? Iyakan?!" Tak ada jawaban yang terdengar. Ia menggeram marah. "Jawab, brengsek!"

"Kenapa kamu ingin sekali menangkapnya?" Vena memilih bungkam. Ia memainkan lidahnya di dalam mulut sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. "Apa karna kamu ingin kembali?"

"Gak usah nanya kalau udah tahu!" desisnya. Ia kembali menatap tempat itu. "Plis, kasih tahu gua siapa pembunuh itu. Gua gak bakal laporin dia atau pun nangkap dia, tapi kasih tahu siapa dia."

"Tidak bisa."

Vena kembali mendesis kesal. "Gua bersumpah untuk enggak nyelakai dia. Plis, gua butuh dia."

"Tidak ada gunanya. Kamu hanyalah arwah, Vena."

Vena mendesis tak suka. "Gua manusia!" ucapnya penuh penekanan.

"Kamu pikir aku tidak tahu. Arwah tetaplah arwah. Kamu takkan bisa kembali!"

"Arrghh!"

Prang!

Gadis itu membanting sebuah gelas hingga pecah berkeping. Matanya menampakkan kilatan amarah, bahkan giginya saling beradu. "Lo gak tahu apa yang udah gua lakuin sampai ke titik ini! Jadi, jangan sok tahu!" Jari Vena menunjuk tepat ke tempat hawa mencekam itu.

"Ini hidup gua, dan hanya gua lah yang tahu seperti apa gua sebenarnya. Bukan lo!" Kedua kakinya langsung melangkah meninggalkan tempat itu, namun ia berhenti kala melihat Daniel berdiri di ambang pintu dengan mulut yang sedikit terbuka.

Vena menghela napas. Ia yakin, setelah ini ia akan dicap cewek gila oleh laki-laki itu. Tapi ... mengapa ia harus peduli?

Ia kembali melanjutkan langkah kakinya tanpa memperdulikan tatapan cengo laki-laki itu.

"Oy, Yen. Alien!" Suara Daniel terdengar kala kakinya sudah menapaki anak tangga kelima. Vena berbalik badan, lalu menatap Daniel yang juga menatapnya.

"Lo udah gila?" Sudah ia duga. Apalagi hal penting yang akan dipertanyakan laki-laki ini, kecuali kewarasannya? Nihil! Tidak ada sama sekali.

Vena mendesis pelan. Ia membalikkan badan, namun suara Daniel kembali mengudara. Dengan terpaksa Vena berbalik badan lagi.

Tatapannya kian mendatar kala tak mendengar sepatah kata pun keluar dari mulut lelaki itu. "Cepat! Gua gak punya waktu buat lo."

"Sebenarnya ...."

•••••

Masih kenal dengan Agnes, si gadis androphobia?

Tentu kalian masih mengingatnya bukan.

Saat ini, gadis itu tengah berjalan sendirian di lorong sekolah. Jam telah menunjukkan pukul 05.52 PM, tapi ia masih belum kembali ke asramanya.

Sebenarnya, ia tengah membuntuti seseorang. Tapi ... ia kehilangan jejak orang itu. Ia bahkan merutuki dirinya yang tidak bisa fokus sedikit pun.

Tak lama tubuhnya menegang. Ia melihat seseorang berjalan mendekat padanya. Tubuhnya cukup besar, dan bisa dipastikan itu adalah laki-laki.

Ia memundurkan tubuhnya perlahan-lahan kala laki-laki itu semakin mendekat. Dapat dilihat jika orang tersebut memakai pakaian serba hitam, topi dan masker yang juga warna hitam.

Bruk!

Tubuh Agnes sepertinya menubruk tubuh seseorang. Ia menolehkan kepalanya, dan tersentak kaget kala ada orang yang sama seperti yang ia lihat tadi. Memakai baju, topi dan masker hitam, namun yang ini adalah perempuan.

Agnes kembali memundurkan langkahnya. Perempuan itu tak bergerak sedikitpun. Tanpa disangka, ia membuka topinya.

Rambut yang awalnya terikat mulai tergerai indah. Kemudian ia beralih melepas maskernya. Kini wajahnya dapat dilihat dengan jelas.

Agnes tersentak kaget. "Ve-vena?"

Vena tersenyum miring. Agnes langsung berbalik, berniat melarikan diri. Namun pergerakannya terhenti karena seorang lelaki berdiri tepat di hadapannya.

Napasnya terasa tercekat. Ia menyandarkan tubuhnya di tembok sambil menatap laki-laki itu tak percaya. "Na-nathan?"

Lalu tatapannya beralih pada perempuan itu. "Ve-vena? Ka-lian ... kenapa kalian berkhianat?"

Vena dan Nathan tersenyum miring. "Hai, Agnes," sapa Vena dengan senyum miringnya.

Agnes semakin ketakutan. Kakinya seakan tak sanggup menapak lagi. Ia menatap mereka takut-takut. "Kalian ... mau apa? Jangan mendekat!" Gadis itu menjerit keras kala Vena menyentuh salah satunya tangannya.

Senyum smirk masih setia menghiasi wajahnya. Ia mendekatkan diri pada Agnes, lalu membisikkan sesuatu. "Mari bermain ... Agnes."

Ada yang mau mengumpat? Silahkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada yang mau mengumpat? Silahkan.

Jangan lupa vote & komennya:)

🎬Makasih🎬

-25 Juli 2021-

Second Chance: Last Mission (End)Where stories live. Discover now