[49] Penyelesaian

217 84 44
                                    

Dua tembakan beruntun mencabik-cabik keheningan malam. Satu dari dua pria yang semula berhadapan kini tumbang. Ia jatuh berlutut, kemudian terjerembap di tanah berumput.

Satu pria yang menggenggam pistol melepaskan pistolnya yang masih berasap, lalu berjalan menghampiri si terjerembap.

"Saya mungkin terlihat seperti orang yang konyol dan mudah diremehkan, tapi memang itu image yang ingin saya tampilkan di luar, Inspektur Nikodim."

Si terkapar tidak menjawab. Ia merintih dan meremas dadanya yang tertembak.

"Saya ingin bertanya sekarang, apakah Anda mengingat keseluruhan yang saya ucapkan waktu itu? Waktu di kamar perawatan istri Pak Wira."

"Saya sudah berusaha mengingat semampu saya," balas pria yang berbaring dengan bersahaja.

"Kalau begitu Anda bukan detektif yang terlalu hebat, Inspektur. Jadi Anda tidak tahu seperti apa hubungan antara saya dengan Rina?"

"Saya tahu," suara pria yang terkapar itu memelan, tetapi matanya membelalak ngeri. "Anda sibuk mencari model cincin kawin yang bagus di internet sejak berbulan-bulan lalu. Anda bahkan sudah mendatangi gerai-gerai perhiasan. Anda ingin melamarnya."

"Seratus," sahut pria yang sedang berdiri. Nada bicaranya kembali kekanakan dan terkesan abai. "Saya jatuh cinta pada Rina. Anda bisa lihat bagaimana saya bisa berpindah sisi dari membela teman berburu saya yang kebaikannya sudah melegenda menjadi memihak Rina yang ingin menuntut keadilan untuk sahabatnya. Saya sampai rela melakukan apa pun demi dia. Kalau Anda tidak percaya, lihat ini."

Pria itu membuka satu per satu kancing kemejanya dan memperlihatkan bekas luka mengerikan di baliknya.

"Anda punya gambaran apa yang terjadi pada saya waktu itu?" tanya pria itu pada si terkapar.

Si terkapar hanya diam, tetapi pria satu lagi memutuskan untuk memberinya apa yang ia inginkan. Sebuah jawaban. Kebenaran. Ia berjongkok di sebelah si terkapar.

"Benar, saya dan Aiptu Arief memang bertengkar di pondok itu. Dia bersikeras menyuruh saya menekan Rina agar melupakan tuntutan autopsi terhadap jenazah temannya, sedangkan saya terus memintanya untuk mawas diri. Memangnya apa yang salah dari sekadar mengakui satu kesalahan? Dia sudah pernah melakukannya, kan? Mengapa yang kali ini tidak ingin dilakukannya? Mengapa bisa ada orang sesombong itu?

"Lalu dia menembak saya. Aiptu Arief menembak saya dengan senapan berburunya. Ketika melihat senapan itu, saya sudah berfirasat tidak enak. Dia memang tidak ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik. Dia sendiri mungkin kesal karena tidak kunjung dilepaskan dari satu perkara sepele ini. Dia benar-benar arogan, Inspektur.

"Saya sekarat. Tapi saya tidak mau mati dulu. Rasanya bodoh sekali mati hanya demi seorang wanita. Bodoh sekali mati karena menjadi perantara dua pihak yang sedang berkonflfik. Bodoh sekali mati di tangan polisi angkuh yang bersikeras menjaga image-nya tetap suci di mata orang lain. Saya membalas dengan sisa tenaga yang saya punya. Saya bertekad kuat, pokoknya dia harus mati, atau saya yang akan mati."

Bahu pria itu gemetaran, kemudian terisak-isak karena emosional.

"Jadi, Anda membakar pondok itu untuk melenyapkan bukti darah milik Anda sendiri?" simpul si pria terkapar.

Pria yang menangis itu mengangguk.

"Mengapa? Padahal jika Anda membiarkan TKP tetap seperti itu, Anda bisa lepas dari jerat hukum karena situasinya adalah membunuh untuk membela diri."

"Anda pernah membunuh orang, Inspektur? Tentu tidak, benar kan? Satu-satunya catatan buruk Anda adalah melempar cangkir keramik ke kepala tersangka di bawah umur. Anda masih noob. Anda bahkan ketakutan dan menyesal setengah mati setelah melakukannya, bukan? Anda sampai menghindar masuk ke ruang interogasi selama bertahun-tahun karena takut bertemu dengan tersangka yang seperti itu lagi.

Enemies and PreysHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin