[26] Copycat Crime

189 76 15
                                    

Ketika akhirnya Nik muncul di koridor menuju ruang Unit 3 keesokan paginya, Maria bertanya dengan gusar, “Ke mana aja kamu kemarin?”

“Ke tempat Pak Sis.”

“Astaga.” Nada suara Maria lebih cenderung marah daripada kaget.

“Saya kerja, kok. Beneran,” tambah Nik dengan percuma.

“Wah, Detektif Nik akhirnya kembali,” seru Wiranata saat Nik melewati pintu.

“Bisa-bisanya dia main ke tempat Pak Sis kemarin.” Maria mengadu.

Seketika wajah Wiranata menggelap. “Pak Sis... Siswono?”

Maria mengiakan, sementara Nik memasang ekspresi samar yang menyiratkan kemenangan.

Kursi-kursi kosong di ruangan itu segera terisi penuh oleh seluruh personel Unit 3, kali ini tak terkecuali Jemmy.

“Kita akan merangkum penemuan kita sementara ini, sekaligus menghubung-hubungkan yang berhubungan.” Wiranata mencoba bersikap humoris seperti biasa, meskipun ia bertambah resah setiap kali mencuri pandangan ke arah Nik. “Ayo, yang seharian kemarin menghilang. Mana laporanmu?”

Nik yang semula duduk rebah kini menegakkan punggung. “Dominic mencoba membuat ulang bola api terbang itu, tapi katanya belum berhasil.” Ia menyerahkan sebuah flashdisk kepada Angger dan memintanya menayangkan empat video lewat proyektor.

Pada video pertama, terlihat suasana sekolah alam pada malam hari tempat Mike mengajar. Mike berada di belakang kamera, memberi perintah kepada sekumpulan anak yang menyiapkan sebuah pesawat remote control. Segumpal arang yang terbakar diikat dengan tali di bagian bawah pesawat. Beberapa saat setelah pesawat diterbangkan, gumpalan arang itu terjatuh dan membakar rumput. Video seketika berakhir.

Pada video-video berikutnya, Mike memodifikasi percobaannya. Dari menambahkan gelas pyrex untuk menampung arang (nyala apinya tidak seperti bola api), mengganti pesawat remote control dengan drone, hingga membakar pesawat remote control hanya untuk memperdengarkan umpatan Mike sebelum video selesai.

Para penonton menarik napas.

“Dia mengujicobanya bersama anak-anak?” tanya Wiranata.

“Kalau mereka melakukannya di lingkungan sekolah, berarti percobaan itu sudah mendapat izin dari pihak sekolah.”

“Lalu apa kesimpulannya?”

“Menurutnya, penampakan bola api itu bukan api sungguhan. Sesuatu yang terlihat seperti api, tapi tidak sungguh-sungguh terbakar dan membuat masalah seperti di video tadi.”

Jemmy terkekeh. “Nggak masuk akal.”

Angger bergerak gelisah di kursinya, tampaknya memikirkan sesuatu. Tentu saja, sebelum sang atasan mempersilakannya untuk bicara, ia hanya menyimpan teori itu untuk dirinya sendiri.

“Ya, Ngger?” Pancing Wiranata yang menyadari gerak-gerik aneh anggotanya itu.

“A-anu... apa mungkin menggunakan teknologi video mapping?”

Alis Wiranata terangkat. “Apa itu?”

“Begini.” Angger meremas-remas tangannya karena gugup. “A-apakah di sini ada yang tahu seni pertunjukan yang membuat sebuah gedung seolah-olah runtuh itu?”

“Ooh...” seru Jemmy. “Seperti yang di Monas itu?”

“Betul, seperti yang di Monas. Bola api yang melayang itu bisa jadi hasil video mapping.”

“Memangnya bisa?” ujar Nik. “Bukankah medianya harus benda padat dan rata seperti tembok? Memangnya bisa memantul di udara kosong?”

Didebat begitu, Angger bertambah gelisah. “S-saya pikir mungkin bisa menggunakan drone seperti percobaan tadi. Bedanya, kalau memakai api sungguhan, tali pengikatnya akan terlihat, bahkan terbakar. Sedangkan api hasil proyeksi tidak akan membakar apa-apa. Jadi,” Angger memutuskan untuk menggambar isi pikirannya di papan tulis. “Drone diikat dengan kain atau layar seperti ini. Tidak harus besar, yang penting cukup untuk memantulkan proyeksi video mapping. Kalau melihat dari pergerakan bola api, kemungkinan besar memang sesuatu yang digerakkan dengan drone.”

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now