[5] Bunda Mike

310 96 18
                                    

Setelah acara formal di markas berakhir, Nik menanggalkan seragam kantornya dan kembali mengenakan baju kasual untuk bekerja.

Alamat termudah untuk mencari Dominic Michael Risena adalah kantor ibunya, sebuah unit ruko yang menyediakan jasa kebersihan rumah dan gedung. Nik pernah datang ke tempat itu beberapa kali, ketika keluarga itu berkasus. Kini ia akan kembali ke sana karena kemungkinan besar keluarga itu memiliki keterlibatan dengan kasus pembunuhan berantai yang sedang ia tangani.

Sekali menjadi kriminal, selamanya tetap kriminal, pikir Nik.

Meskipun demikian, sebelum tiba di kantor jasa kebersihan itu, ia mampir ke toko bunga terdekat untuk membeli buket kecil bunga aster putih. Ia berencana memberikannya pada Rami, ibu Dominic. Rami adalah wanita yang menarik. Wajahnya mudah tersipu, mudah pula tampak sedih. Rambut panjangnya biasanya diikat rendah, sangat biasa, tetapi penampilan itu berubah total ketika dia sedang tidak mengikat rambutnya. Hal-hal sederhana itulah yang diamati oleh Nik, lalu membuatnya terpikat.

Kalau saja dulu mereka bertemu di kesempatan yang lebih menyenangkan, Nik mungkin sudah mengajak wanita itu berkencan. Ia tidak keberatan dengan perbedaan umur yang jauh.

Awan mendung mengantung rendah di kawasan kantor itu. Ketika Nik pada akhirnya tiba di sana, gerimis turun, sementara kantor “Rami Clean” tertutup rapat. Rolling door-nya terkunci dengan gembok berat dari luar. Bukan hari keberuntungannya.

Ia menepikan sepeda motornya ke emperan toko itu ketika hujan bertambah deras. Ia berdiri bersandar pada rolling door, helmnya diletakkan di tangki motor. Ia kesal sendiri karena sekarang tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Nik melihat nomor ponsel Rami yang tertera di neon box pinggir jalan, kemudian mencoba menghubunginya. Tidak diangkat.
Begitu hujan sedikit reda, Nik memutuskan untuk lanjut ke tujuan berikutnya. Ia menaiki motor, menuntunnya mundur menuju hujan, tetapi sebuah payung hitam tiba-tiba menaunginya.

“Lama tidak berjumpa, Pak Polisi.”

Di sebelahnya kini berdiri seorang wanita berambut pendek dan berkacamata besar, yang meskipun selera berbusananya sudah berbeda, tetap saja wajahnya familier bagi Nik.

“B-Bu Rami. Apa kabar?”

Nik mengulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi wanita itu tidak bisa menyambutnya. Kedua tangannya memegang masing-masing satu payung. Satu untuk dirinya, dan satu lagi untuk Nik. Nik segera menyadari betapa cepatnya ia menjadi bodoh saat berhadapan dengan wanita itu. Ia pun meminta satu payung dari tangan Rami karena merasa tidak enak hati. Kalau bisa, dirinyalah yang ingin memegangi payung untuk Rami.

“Ada keperluan apa, Pak? Hari ini saya tidak buka karena karyawan saya sedang cuti.”

“Begini, Bu. Saya ada perlu sama putra Ibu. Bisa saya ketemu Mike?”

Senyum terangkat di satu sudut bibir wanita itu; sebuah ekspresi yang belum pernah dilihat Nik sebelumnya. Ekspresi yang terlalu liar untuk Rami yang dulu mudah tersipu dan mudah terlihat sedih.

“Dia sudah bukan putra saya lagi.”

Pernyataan itu mengejutkan Nik yang telah menyaksikan keseharian hubungan ibu-anak itu di sepanjang proses hukum terhadap kasus Mike dulu.

“Pak Polisi percaya? Saat saya membawanya ke rumah orangtua saya setelah bebas, dia menyorotkan cahaya lewat kaca pembesar ke mata ayah saya. Bukankah itu kelewatan, walaupun niatnya cuma main-main?”

Nik kini mengerti arti senyuman ganjil di wajah Rami itu. Senyuman orang yang sudah terlalu terbiasa dengan kepahitan hingga bisa mengubahnya menjadi lelucon.

“Apa dia masih suka bermain api setelah keluar dari penjara?”

Rami menadahkan tangan di luar payung, menyadari hujan sudah pergi. Kini yang tersisa hanya gerimis setipis jarum.

“Jika ada satu mainan yang tidak bisa dia lepaskan sekalipun harus berpisah dengan dunianya, mainan itu adalah kaca pembesar.” Dia menutup payung miliknya sendiri. “Jadi, untuk apa Anda ingin bertemu dengan orang itu? Apakah dia berulah lagi?”

“Menurut Ibu, apakah itu sangat mungkin?”

“Entahlah,” Rami terbahak datar. “Saya tidak peduli lagi pada apa pun yang terjadi padanya. Dia sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. Saya berharap dia tidak akan datang pada saya hanya saat sedang tersangkut masalah.”

Nik mengeluarkan notes dan pulpen dari saku jaketnya. “Ibu tahu di mana tempat tinggalnya sekarang?”

“Dia tinggal berpindah-pindah. Terakhir kali yang saya tahu dia ada di sekitar Tanjung Duren.”

“Dia bekerja, Bu?”

“Entahlah, mungkin. Dulu dia direkrut oleh dinas damkar karena keahliannya memadamkan api. Tapi saya tidak yakin dia tidak pernah membuat masalah di sana.”

Perubahan drastis sikap Rami terhadap putranya itu terasa begitu bising hingga mengganggu pendengaran Nik. Ia semakin yakin ada sesuatu yang salah di sini.

“Omong-omong,” Nik mengambil ponselnya untuk menunjukkan foto ketiga korban pembunuhan itu pada Rami. “Apakah Ibu pernah bertemu atau melihat orang-orang ini?”

“Apa ini jebakan lagi?” Rami menatap Nik tajam.

“Jebakan apa? Saya tidak pernah menjebak Ibu.”

“Anda tahu sejarah saya dengan institusi Anda tidak bagus.”

Nik tertawa pelan. Sejenak ia membuang pandangan ke arah lalu lintas yang memadat di depan kompleks pertokoan itu. Sebenarnya ia benci berurusan dengan orang-orang yang sulit bekerja sama seperti ini. Kasus-kasus di masa lalu telah mengamplas habis kesabarannya.

“Jika Ibu tidak menyembunyikan apa-apa, maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Ibu ingat kan, Ibu hanya tersangkut masalah ketika berusaha menutup-nutupi kebenaran. Setelah itu, semuanya aman dan baik-baik saja.”

Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Rami.

“Lalu ada masanya penyidik seperti Anda kelelahan dan frustrasi. Orang-orang tak bersalah yang kebetulan punya keterkaitan kecil dengan kasus pun langsung Anda tangkap.”

“Oh, ini kasus baru, saya masih jauh dari kata-kata yang disebutkan Ibu,” Nik mendebat.

“Dan bagaimana saya bisa membantu Anda dalam sebuah kasus yang benar-benar baru?”

Menyadari tembok perlindungan Rami yang begitu sulit ditembus, Nik merasa geli sendiri. Namun, ia tidak ingin menyerah secepat itu.

“Saya sedang berusaha mempercayai bahwa Ibu tidak terlibat dengan kejahatan yang sedang saya usut kasusnya. Sama seperti dulu. Jadi, jika Ibu menemukan informasi penting tentang ketiga orang ini, sekecil apa pun itu, tolong hubungi saya. Tidak harus sekarang, tapi secepatnya.”

“Informasi apa yang harus saya beri tahu kepada Anda tentang orang yang tidak saya kenali?”

Nik mengenakan helm, kemudian membuka kaca helmnya. “Mereka semua adalah korban pembunuhan belum lama ini. Kasus yang terakhir baru terjadi dua minggu yang lalu. Barangkali seseorang dari rumah mereka pernah menggunakan jasa kebersihan Ibu. Jika waktunya berdekatan dengan waktu kematian—baik sebelum maupun sesudah, itu lebih bagus lagi.”

Rami melipat lengan di dada, tampaknya mempertimbangkan penawaran itu. Kemudian, “Bisa beri tahu saya waktu kematian para korban?”

Senyum puas lolos dari bibir Nik. “Terima kasih sudah mempercayai saya juga.”

*

Now playing:
Carnival of Rust - Poets of the Fall

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now