[2] Unit 3

470 124 34
                                    

Keberhasilan Unit 3 yang dipimpin Wiranata dalam menangkap gembong sebuah sindikat kejahatan langsung menjadi buah bibir di markas kepolisian daerah, terutama di Ditreskrimum.

Namun, di balik wajah semringah Wiranata yang dipuji Kapolda, ada anggota yang dimarahi karena memutus komunikasi pada saat genting. Polisi bersandi Patrick itu. Ia berdiri dengan posisi istirahat, berhadapan dengan atasannya yang duduk bersandar di kursi putar. Nama yang disematkan di seragam dinasnya adalah Patibrata. Pangkatnya dua balok emas—inspektur satu.

“Nikodim Patibrata, kamu bukan orang baru di sini. Kamu bahkan lebih senior di unit ini daripada saya. Kenapa kamu tidak paham apa gunanya komunikasi tim dalam misi seperti ini?”

“Saya tidak bisa berkonsentrasi jika setiap saat ada yang bicara di telinga saya,” akunya.

Wiranata mendesah. “Banyak sekali alasanmu. Jika sekali lagi kamu tidak bisa dihubungi atau bekerja sesuai aturan tim, kamu akan ditendang ke hutan.”

Wajah Nik berubah kecut. Sejak dibuang ke unit ini empat tahun lalu, ia tidak pernah lagi dipindahkan ke mana-mana. Teman-teman yang dulu pun sudah tak tersisa lagi, digantikan junior-junior yang tidak bisa diakrabinya. Tampaknya hingga pensiun nanti—dengan catatan ia tidak membuat kesalahan lagi—ia akan tetap berada di Unit 3, barangkali menjadi kacung juniornya.

“Sekarang ikut saya rapat sama Direktur.” Wiranata bangkit.

“Sekarang?”

“Iya, sekarang. Memangnya kapan? Waktu ganti presiden?”

Kepala Unit 3 dan bawahannya itu pergi ke ruang rapat besar yang dihadiri petugas-petugas dari subdit lain. ia sempat berpapasan dengan atasannya, AKBP Abdul Gani, sebelum menemukan tempat duduk yang kosong.

Rapat belum dimulai, tetapi sebentar saja Nik sudah tidak betah duduk di ruangan itu. Ia ingin pergi ke kantin dan memenuhi dosis nikotin hariannya sejenak di sana.

Saat ia baru mau beranjak, Komisaris Besar Raymond Sinaga, yang dipanggil Direktur, sudah memasuki ruangan. Kombes Sinaga adalah pria yang berperawakan seperti pegulat. Ia begitu cocok dengan pangkatnya, komisaris besar.

“Pagi,” ia membuka rapat. Suaranya halus dan tidak begitu dalam. Ia bukan perokok berat seperti orang-orang di Unit 3.

“Kita akan membahas fenomena pembunuhan dan pembakaran yang dikait-kaitkan dengan mitos Banaspati di wilayah hukum kita akhir-akhir ini.” Kombes Sinaga memerintahkan seorang polisi muda untuk mengoperasikan proyektor. “Ada yang sudah dengar?” Ia mengambil sebuah spidol dan membuka tutupnya, seakan bersiap menulis sesuatu.

Ruangan seketika dipenuhi bisik-bisik.

Wiranata bergumam rendah, “Oh, kasus yang itu.”

“Kasus yang mana, sih?” Nik menyahut.

“Kamu nggak tahu? Kamu itu memperhatikan apa saja, sih? Game?” hardik Wiranata, yang langsung ditegur dengan desisan oleh kepala unit lain di sebelahnya.

Kombes Sinaga mempersilakan anggotanya untuk menjabarkan kasus yang dimaksud.

Kasus pertama terjadi di Tangerang. Korban bernama Sri Sumarni, umur 36 tahun, seorang ibu rumah tangga. Dia tewas pada 15 Desember tahun lalu sekitar pukul tiga dini hari. Tempat kejadian perkara adalah di rumahnya sendiri. Penyebab kematian diperkirakan karena shock akibat luka bakar derajat tiga yang dialaminya. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan selain luka bakar. Tidak ada tanda-tanda pencurian atau perampokan di rumah kontrakannya. Suami korban, Sutikno, 40 tahun, sempat ditahan di kepolisian resor kota setempat dengan dugaan pembunuhan, tetapi akhirnya dilepaskan karena minimnya bukti.

Foto yang ditampilkan di layar adalah foto kondisi terakhir korban yang hitam legam akibat terbakar habis. Posisinya telentang dengan kedua lengan menekuk ke posisi petinju. Nik pernah mendengar dari mantan pacarnya bahwa posisi itu alami terjadi pada mayat yang terbakar, tidak menjelaskan apa-apa terkait pelaku atau metode pembunuhannya.

“Menurutmu suaminya pembunuhnya?” bisik Wiranata pada Nik.

Nik mengangkat bahu. “Sebagian besar pembunuhan memang dilakukan oleh orang terdekat korban, bukan? Sebagian besar.”

Polisi di depan melanjutkan, “Salah satu pertimbangan melepaskan Sutikno adalah kasus serupa yang terjadi berikutnya sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya.”

Nik mulai memperhatikan dengan benar begitu si polisi mengatakan berikutnya.

Kasus kedua terjadi di Bekasi pada 31 Desember tahun lalu. Korban bernama Queensy Indah Puspita, umur 16 tahun, seorang siswa SMA. Dia tewas terbakar di halaman belakang rumahnya saat malam pergantian tahun. Sama seperti kasus pertama, hasil autopsi menyebutkan tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh korban. Satu-satunya persamaan adalah munculnya penampakan bola api terbang pada malam terjadinya pembunuhan.

Sebagai pelengkap, polisi itu meminta operator proyektor untuk memutarkan sebuah video.

Video berdurasi 30 detik itu menampilkan suasana meriah perayaan tahun baru, lengkap dengan langit hitam yang dipenuhi ledakan warna kembang api di kejauhan. Lalu, pada jarak yang lebih dekat dengan sang perekam video, muncul sesuatu yang berpijar terang seperti bola api, terbang rendah dengan gerakan mendatar, seakan-akan memotong ekor kembang api yang memelesat ke puncak langit. 

Seisi ruangan mulai gaduh. Nik termangu setelah menyaksikan video singkat itu.
Slide di layar berganti lagi.

Kasus berikutnya terjadi pada tanggal 15 Januari tahun ini, di Jakarta Selatan. Korban bernama Nikita Rozalia, umur 31 tahun, bekerja sebagai web designer. Korban terbakar di ruang keluarga rumahnya. Bedanya, sebelum korban terbakar habis, tetangganya datang dan memadamkan api dengan air dari kamar mandi, tetapi nyawa korban sudah tidak tertolong. Sama seperti dua kasus sebelumnya, pembunuhan ini juga dikait-kaitkan dengan munculnya bola api di langit kawasan sekitar rumah korban.

Menurut keterangan tetangga, suami korban sedang dinas keluar kota pada hari kejadian, tetapi setelah dicek ke kantornya, tidak ada surat perintah dinas untuk pria itu. Saat ini alibinya masih diselidiki, termasuk keterkaitannya dengan pembunuhan-pembunuhan lain sebelum ini.

“Sekian.”

Kini, ketiga foto korban saat masih hidup ditampilkan berjejer di layar beserta deskripsi singkat mengenai identitasnya.

Direktur mengambil alih rapat. “Kalau tidak salah, empat tahun yang lalu ada penyidik dari Subdit Jatanras yang berhasil mengungkap kasus pembakaran gedung teater di Sawah Besar.”

Nik terkejut karena merasa dirinya dipanggil. Kasus yang dimaksud pasti kasusnya.

Seorang polisi dari subdit lain, yang dulunya teman seruangan Nik, mengangkat tangan untuk menjawab dengan bangga, “Iptu Patibrata, Pak.”

Para peserta rapat kini menoleh kepada Nik dan atasannya.

Nik menepuk jidat. Ia lupa dahulu ia sangat populer di markas gara-gara kasus itu. Dan bukan populer karena hal baik pula.

Selagi anggotanya mencari salindia kasus pembakaran lama itu, Kombes Sinaga mencoba mengingat-ingat nama si pelaku. “Dominic... Senna?”

“Dominic Michael Risena,” jawab Wiranata tanpa beban, karena sesungguhnya beban itu ada di pundak Nik. Wiranata belum menjadi kepala Unit 3 empat tahun yang lalu.

Wajah si pelaku pembakaran tampil di layar. Wajah remaja blasteran kaukasia yang usianya tak lebih dari tujuh belas tahun. Matanya yang berwarna campuran hijau dan cokelat menyorot tanpa gentar ke arah kamera.

“Iptu Patibrata, selidiki kemungkinan dia memiliki andil dalam kasus pembunuhan berantai ini,” perintah Kombes Sinaga.

“Siap, Pak!” Dengan lantang, Wiranata mewakili jawaban Nik yang masih mematung.

Kombes Sinaga memasang kembali tutup spidol yang sejak tadi digenggamnya. “Baiklah, tampaknya bijak jika Unit 3 yang memimpin penyidikan kali ini. Sekian pertemuan pagi ini.”

*

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now