[8] Lubang Atap

231 93 27
                                    

Nik mendengus ketika mengecek lokasi terjadinya kasus pembunuhan pertama esok paginya. Rumah korban merupakan rumah nomor dua dari bedeng kontrakan lima rumah. Bedeng itu tampak tidak terlalu terawat. Dindingnya kusam, bagian bawahnya berkalang tanah akibat guyuran hujan dan tumbuhan merambat mulai memanjat. Cat rumah yang disewa keluarga korban sudah mengelupas. Semen terasnya pecah-pecah.

Tidak ada lagi garis polisi yang seharusnya membentang dari ujung ke ujung teras. Sebaliknya, sudah ada kertas bertuliskan “DI KONTRAKAN” di jendela kamar depan yang menghadap ke jalan.

“Mana pemilik kontrakannya?” tanyanya gusar kepada petugas yang menemaninya. Petugas itu membawanya ke sebuah rumah yang lebih besar di bagian belakang bedeng kontrakan. Orang yang bisa mereka temui adalah istri si pemilik kontrakan.

“Lho, polisi lagi? Kemarin sudah datang.”

“Saya mau memeriksa kebenaran laporan yang dibuat anggota saya,” jawab Nik datar. “Ternyata benar rumah itu sudah dibereskan.”

Wanita agak gemuk yang mengenakan blus dan celana panjang ketat itu membela diri, “Lho, katanya kan penyelidikan sudah beres. Mana saya tahu polisi mau datang lagi.”

“Ibu mengubah apa saja dari rumah itu?”

“Pertanyaan ini lagi,” kata wanita itu tidak sabaran.

“Anda mau dituduh telah merusak TKP untuk mengacaukan penyidikan polisi?”

“Saya nggak ngubah banyak-banyak kok. Paling-paling keramik yang rusak diganti. Dinding yang gosong dicat ulang. Tapi jangan disebarin dong, Pak. Bisa-bisa nggak ada yang mau nyewa lagi. Biasanya kalau ada yang mati nggak wajar gitu kan jadi angker rumahnya.”

“Kapan Ibu memperbaikinya?”

Wanita itu mendengus panjang. “Baru dua minggu lalu.”

“Plafon juga diganti?”

“Plafon apa? Nggak ada masalah dengan plafonnya.”

Setelah mendapatkan pinjaman kunci, Nik meninggalkan si pemilik kontrakan. Ia kesal sendiri dengan gaya acuh tak acuh wanita itu. Ia kembali ke bedeng kontrakan dan membuka pintu rumah nomor dua dari kanan. Memang benar, aroma yang pertama kali menguar adalah aroma semen basah dan cat yang baru mengering. Nik sedikit berharap aroma yang diendusnya adalah aroma asap dan daging yang terbakar.

“Tidak ada masalah dengan plafon di sini?” Ia mendongak, memandangi langit-langit tripleks yang memiliki corak air rembesan hujan.

“Tidak ada, Pak. Di kamar mandi yang ada lubang atapnya.”

Nik beranjak ke kamar mandi yang berada di antara kamar kedua dan dapur. Selagi berjalan, ia bertanya ke mana pindahnya keluarga korban yang tersisa setelah kejadian pembunuhan ini. Si petugas menyebutkan nama sebuah tempat di kawasan lain kota itu.

Petugas lain membawa tangga lipat yang kemarin belum tersedia sehingga penyelidikan tidak bisa dilanjutkan. Setelah tangga terpasang di bawah lubang atap itu, Nik memanjatnya dan membuka tingkap. Kegelapan dan aroma tidak enak langsung menyerbu indranya di ruang atap, tetapi yang menarik perhatiannya seketika adalah cahaya di ujung ruang berbentuk segitiga itu.

“Dari situ si pelaku masuk!” Ia buru-buru turun dan bergegas keluar dari rumah itu. Para petugas tergopoh-gopoh di belakangnya.

Nik menyusuri tiga rumah hingga tiba di salah satu ujung bedeng yang jendela ventilasi atapnya berlubang. Jendela ventilasi di ujung satu lagi masih dipasangi kisi-kisi yang tidak memungkinkan manusia untuk memasukinya, sedangkan yang di ujung sini tidak memiliki kisi-kisi.

“Lubangnya pas sebesar ukuran pria dewasa pada umumnya, kan?” ia bertanya kepada petugas yang mendampinginya. Petugas itu mengangguk setuju, lalu meminta temannya tadi untuk membawa tangga agar ia bisa memotret dari dekat.

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now