[10] Dominic Michael Risena

261 97 16
                                    

Bulan telah bergulir dari puncak langit selagi hiruk-pikuk di lokasi kebakaran meningkat.

Sambil menunggu bala bantuan dari markasnya, Nik bekerja sama dengan polisi sektor setempat untuk mengamankan TKP dan memastikan tidak ada penyusup. Dalam kegelapan tanpa penerangan listrik itu, Nik meminta didatangkan lampu sorot. Ia tidak bisa mengambil risiko ada orang yang mendekati TKP diam-diam di tengah ketiadaan cahaya seperti sekarang. Apalagi, semakin lama tempat itu justru semakin ramai oleh warga yang penasaran.

Ruangan tempat jenazah ditemukan tidak bisa diakses dari dalam rumah karena pintunya menjadi macet akibat kebakaran. Nik memutuskan untuk tidak membuat lebih banyak kerusakan karena dikhawatirkan ada petunjuk yang bisa ia temukan di sana. Ia keluar dari rumah dan masuk lewat jalan yang dimasuki si petugas damkar dengan bantuan tangga mobil pemadam.

Lampu-lampu sorot kini menerangi tempat itu secara berlebihan hingga membuat mata Nik sakit. TKP menjadi banjir dan beberapa barang rusak akibat terjangan air bertekanan tinggi. Aroma asap dan partikel benda yang terbakar masih terasa ketika menarik napas. Hawa panas masih tersisa.

Ketika Nik tiba di TKP, petugas damkar yang pertama kali menemukan mayat itu menolak hengkang meskipun sudah diperingatkan. Ia hanya berdiri di sana tanpa melakukan apa-apa. Wajah petugas bandel itu tidak terlihat karena memakai topeng gas.

“Anda mau digerakkan dengan cara kekerasan?” Nik mengancam. Pengalaman pahit selama bertahun-tahun menjadi polisi mengubahnya yang semula penyayang menjadi makhluk haus darah. Ia tidak keberatan menghajar siapa pun yang ada di depan matanya ketika mood-nya sedang memburuk seperti saat ini.

“Pak Polisi nggak mau reuni dulu dengan saya?”

Suara si petugas yang semula teredam topeng kini menjadi jernih. Suara yang ringan dan kekanak-kanakan. Suara yang dipenuhi senyuman. Saat topeng itu terbuka, Nik seketika tahu siapa yang sedang dihadapinya.

“Dominic Michael Risena.”

Mantan narapidana kasus pembakaran yang sedang dicari oleh Nik. Kini ia berdiri di sini sebagai orang dengan peran yang sama sekali berbeda. Namun, Nik tahu itu cuma cangkang luarnya. Di dalamnya, pemuda ini masih seperti anak SMA bengal yang ia temui di ruang interogasi dulu. Sinis, misanthropis. Lihat, ia bahkan bergembira melihat mayat yang terbakar itu.

Cepat pulih dari kekagetannya, Nik mencengkeram kerah jaket pelindung petugas damkar itu dan berteriak di depan mukanya, “Ngapain kamu di sini!”

“Eit, eit. Saya yang memadamkan tempat ini, lho.”

“Beneran cuma madamin kebakaran? Bukan kamu juga yang bakar?”

“Ya ela, Pak Polisi. Saya sudah tobat, lho. Sumpah.” Pemuda itu mengacungkan tanda peace dengan tangannya. “Saya betulan jadi petugas damkar sekarang, nggak pernah bakar-bakar lagi. Kalau nggak percaya tanya aja sama komandan saya.”

Nik melepaskan cengkeramannya dari pemuda itu dengan kasar. “Kalau kamu benar-benar sudah tobat, cepat tinggalkan kamar ini. Jangan ganggu perkerjaan saya.”

Pemuda itu mencibir. “Terima kasih kembali.”

Sebelum petugas damkar itu keluar lewat jalan masuknya tadi, Nik mencegatnya.

“Kamu nggak menyentuh apa-apa sebelum saya sampai di sini, kan?”

Petugas damkar itu bertengger sejenak di kosen jendela yang telah menjadi arang. “Kalau iya, kenapa?” Senyumnya melebar, memancing keributan.

Nik mengepalkan tinju, tetapi dalam hati ia berhitung untuk menahan diri. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada menghajar pemuda menyebalkan ini. Dominic bisa menunggu besok untuk babak belur lagi.

Petugas damkar itu pun melompat turun sambil berseru riang.

Nik mengecek arloji dan mencatat waktu penemuan mayat.

Aroma daging hangus kian memekat. Bertolak belakang dengan kondisi TKP yang basah kuyup, mayat korban relatif tidak tersentuh air. Tampaknya Dominic berhati-hati untuk tidak menimbulkan kerusakan terlalu banyak saat melakukan pemadaman.

Nik lega setidaknya pemuda itu melakukan tugasnya dengan benar.

Ia mengamati ruangan itu. Tidak ada tempat tidur di sana, hanya meja dari kayu lapis dan rak dinding berisi buku dan folder-folder penyimpanan. Pantas saja ruangan ini mudah terbakar. Banyak sekali kertas di sini.

Ini ruang kerja si korban. Tidak ada jalan masuk dan keluar lain bagi si pelaku selain pintu menuju beranda yang dipasangi palang kayu tebal dari dalam dan jendela yang tadi dihancurkan oleh si pemadam kebakaran. Nik kemudian menengadah ke langit-langit. Plafonnya sudah ambrol. Seorang petugas damkar memperingatkannya tentang kemungkinan runtuhnya atap, tetapi petugas lain berkata atap rumah itu menggunakan rangka baja ringan.

Nik memutuskan untuk memeriksa kembali atap itu setelah hari terang dan suhu tempat ini sudah kembali normal.

Kini ia berjongkok di sisi mayat untuk mengamatinya secara kasatmata. Ia tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan untuk melihat sendiri korban rentetan kasus pembunuhan yang sedang diusutnya. Masih terlalu dini untuk menduga bahwa ini adalah pembunuhan, tetapi ia bisa memperoleh petunjuk yang lebih jelas daripada jika hanya membaca berkas kasus yang tidak dibuat dengan sungguh-sungguh.

Meskipun pakaiannya hangus hingga tidak dikenali lagi, Nik bisa menyimpulkan bahwa korban kali ini pun perempuan.

Perempuan... terbakar....

Ia juga tidak menemukan sisa aroma minyak tanah pada tubuh korban.

Perempuan... terbakar... tanpa bahan bakar....

Nik yang telah mengenakan sarung tangan lateks mencoba mencari tanda-tanda cedera di tubuh mayat. Ia seharusnya menunggu tim penyelidik, tetapi sifatnya yang tidak sabaran membuatnya ingin bertindak duluan.

Posisi jenazah itu berbaring telentang di lantai, persis di tengah-tengah ruangan, dengan kedua lengan dan tungkai menekuk seperti sikap petinju. Jenazah itu masih mengenakan gelang emas di tangan kirinya. Setelah diamati lagi, kalung emas juga masih melingkari lehernya. Nik menyimpulkan bahwa ini bukan kejahatan bermotif materi.

Perempuan... terbakar... tanpa bahan bakar... bukan perampokan... tengah malam....

Seorang reserse yang baru tiba di TKP berseru melihat perbuatan Nik. Ia buru-buru beranjak sebelum dituduh merusak bukti.

*

Nik keluar dari ruangan tempat jenazah ditemukan untuk menyisir bagian lain rumah. Ia memeriksa selusur beranda lantai dua, melongok ke langit-langit teras, mencari lubang ventilasi atap, tetapi tidak menemukan apa-apa. Tidak seperti dua kasus sebelumnya, struktur rumah ini, termasuk lingkungannya, tidak mendukung si pelaku untuk menyusup lewat lubang atap maupun jendela kaca yang diam-diam bisa didorong membuka.

Pelakunya orang dalam rumah?

Ia akan memeriksa kembali rumah ini di bawah sinar matahari.

Saat menjelajahi teras depan, Nik mendapati keluarga korban histeris di pinggir jalan yang tidak tersentuh api. Dua polisi sektor setempat mencoba menahan sang suami yang mendesak masuk ke lingkup pagar rumah.

Nik mencoba memberi pengertian kepada pria itu. “Pak, rumah ini sudah menjadi TKP dan tidak ada yang boleh mendekat selain—”

“Saya suaminya! Saya ingin melihat istri saya!”

Pria 40 tahunan itu berhasil lepas dari petugas yang membendungnya. Sikapnya garang ingin menantang siapa pun yang menghalangi jalannya, tapi ia bukan tandingan Nik. Dengan satu tangan, Nik mendorong mundur pria itu kembali ke garis batas yang ditetapkannya. Pria itu meraung, jatuh berlutut dan memanggil-manggil nama istrinya. Kedua putra korban, yang kira-kira berusia dua belas dan delapan tahun, saling berpelukan dan terisak-isak, tampaknya kalut melihat histeria ayahnya.

Meskipun demikian, Nik tidak merasakan empati apa pun pada keluarga di hadapannya. Selain karena tidak menemukan relevansi antara dirinya dengan pria itu, juga karena pria ini bisa saja adalah pelaku yang berakting kehilangan.

*

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now