[27] Motif

196 85 17
                                    

“Dia makin suka baperan belakangan ini,” ungkap Nik setelah kantor sepi pada malam harinya. Hanya ia dan Wiranata yang tersisa di ruangan.

“Kita ini lagi butuh banyak sumber daya manusia untuk kasus ini, malah kamu buat salah satu personel yang paling berguna ngambek.” Wiranata membereskan satu per satu tumpukan berkas di mejanya.

“Paling besok pagi sudah nongol lagi.”

“Kalau saja dia sudah nggak enek lagi lihat muka kamu.”

“Jadi, Pak,” Nik mengempaskan diri ke sandaran kursinya yang goyah. “Seberapa dekat Bapak dengan Aiptu Arief ini?”

“Kamu mau menuduh saya sebagai pelakunya?” Wiranata menatapnya dengan mata lelah.

“Bisa ya, bisa tidak.”

Wiranata berdecak. “Ayo kita merokok di luar.”

Mereka meninggalkan ruangan, menunggu hingga lift tiba, lalu turun lantai dasar. Udara malam yang lengas menyambut mereka ketika mencapai pintu lobi.

“Kalau kamu tanya ke orang-orang yang mengenalnya, tidak usahlah dekat, yang penting kenal, mereka akan sepakat tentang satu hal. Kepribadiannya. Mendiang itu supel, ringan tangan. Dulu saya ke sini kan nggak tahu apa-apa, cuma ikut paman saya yang jadi kapolsek. Arief itu teman pertama saya di sekolah polisi,” Wiranata mulai bercerita selagi mereka berjalan menuju parkiran. Rokok sudah terselip di bibirnya, tetapi ia tidak menemukan pemantik di sakunya. Lagi-lagi Nik-lah yang harus menyalakan rokoknya.

“Saya nggak bisa bayangin dulu Bapak pernah culun,” komentar Nik, disambut semburan tawa Wiranata.

“Karena saya keturunan Batak begitu, ya? Yah, bisa dibilang saya memang tidak pernah jadi orang yang culun dan pemalu. Yang ada mendiang Arief itu ada di samping saya untuk mencegah saya bentrok sama anak lain.” Wiranata bersandar di perimeter sambil menikmati rokoknya. “Oh ya, juntrungannya dari mana kamu bisa sampai ke kasus lima tahun lalu?”

“Koran.” Nik tidak sudi mengatakan bahwa Mike-lah yang lebih becus menyelidiki kasus ini daripada dirinya.

“Kamu tahu kasus pendahulunya?”

Nik terdiam. Alisnya mengerut setelah mengukur kedalam kasus yang belum diselaminya.

“Jadi ceritanya, Arief kan dari satuan Sabhara. Waktu itu dia ikut mengamankan demo di Bandung, lalu rusuh. Biasalah itu, kan? Selalu ada provokator. Nah, kemudian ada demonstran yang meninggal terkena peluru karet. Kejadiannya sekitar empat... enam bulan sebelum Arief meninggal. Saya kurang ingat. Karena kamu sudah punya gambaran besar tentang karakter Arief ini, kamu tahu apa yang dia lakukan kepada keluarga korban setelahnya? Ya, dia mendatangi rumah mereka dan mewakili polisi untuk minta maaf. Tidak pernah terjadi di sini, kan?” Wiranata melirik Nik, kemudian tertawa miris.

“Jangan bilang, niat baiknya itu justru disambut dengan—”

“Ya, saya duga begitu. Katanya, waktu Arief berkunjung, ada salah satu anggota keluarga korban yang mengamuk. Tapi tidak ada lagi kelanjutan urusan itu. Dianggap selesai. Kalau lihat di berita pun, keluarga menyatakan sudah merelakan kepergian korban. Hanya saja, hati manusia kita tidak pernah tahu, Nik.”

“Jadi, ada kemungkinan yang membunuh Pak Arief adalah salah satu anggota keluarga korban kerusuhan demo itu?”

“Tentu saja, mudah menyimpulkannya seperti itu, bukan? Tapi setelah penyelidikan selama bertahun-tahun, tidak ada bukti yang mengarah ke salah satu dari mereka. Kita para polisi ini merasa dipercundangi karena tidak bisa menegakkan keadilan atas kematian teman sejawat sendiri. Saya pun malu pada mendiang Arief. Malu dan marah. Begitu juga yang dirasakan orang-orang yang kenal Arief dan masih tidak merelakan apa yang terjadi padanya.”

“Sebentar, Pak.” Nik meremas-remas jemarinya karena mendadak tersambar gagasan yang mengerikan. “Jadi rentetan pembunuhan dan pembakaran ini adalah aksi balas dendam terhadap orang yang disangka telah membunuh Pak Arief? Si pelaku bahkan belum tahu identitas pasti pembunuh Pak Arief—hanya melihat berdasarkan tampak belakangnya yang serupa?”

Wiranata berdesis panjang untuk memaksa Nik diam. “Ada bagusnya kamu bikin Maria ngambek sekarang. Kalau dia sampai tahu bahwa motif pembunuhan ini adalah balas dendam tanpa pandang bulu terhadap semua perempuan dengan wujud serupa, entah akan seperti apa marahnya Maria.”

“Pak,” Nik masih mendesak. “Apa itu berarti pelakunya berasal dari kepolisian sendiri?”

“Saya belum yakin benar soal itu, karena lingkaran pertemanan Arief sangat luas dan dari bidang yang berbeda-beda. Tapi kalau benar pelakunya berasal dari kantor kita sendiri, entahlah, Nik. Logika aja gitu, lho. Kenapa dia harus main hakim sendiri kalau bisa dengan jalur hukum yang dia ahli di bidangnya? Kenapa harus dengan mengusik ketenteraman hidup orang banyak?”

“Ada tipe orang yang melakukan kejahatan karena ingin menunjukkan agresi dan dominasi semata,” ujar Nik. “Tidak ada hubungannya dengan sikap profesionalisme.”

Wiranata mengembuskan asap rokok sejenak dengan pandangan kosong ke depan. “Kalau benar pelakunya berasal dari lingkungan kepolisian sendiri, dan motifnya seperti yang kamu bilang barusan, jujur saya tidak tahu lagi siapa yang harus saya percayai. Saya bahkan tidak bisa percaya sama kamu lagi. Kamu pun pasti kehilangan kepercayaan pada saya, kan?”

“Yang jelas, si pelaku hanya memanfaatkan foto-foto dari akun Flickr Danu untuk melacak sosok targetnya,” Nik menjentikkan jari.

“Nik, tunggu sebentar.” Wiranata mencabut rokok dari bibirnya. Ia berupaya membendung aliran deras ilham yang menghampiri kepala Nik.

“Bukankah bila si pelaku berasumsi seperti itu, artinya sebelum itu dia sudah menemukan foto yang berkorelasi dengan Pak Arief dan pembunuhnya di media yang sama?” Nik berlari kembali ke gedung Ditreskrimum, dan kembali ke ruang Unit 3 untuk mencari lembaran hasil print out dari laman Flickr Danu. Ia tidak merasa perlu mengenyakkan diri di kursi selagi memindai satu per satu foto yang tercetak di kertas.

“Kamu ingin bilang bahwa Danu hanya dimanfaatkan oleh si pelaku? Jadi sebenarnya dia tidak terlibat sama sekali?” Pada akhirnya Wiranata mencapai ruangan itu dengan terengah-engah.

“Bisa jadi. Jika benar motifnya adalah balas dendam dan bukannya... bukannya....”

Nik mendekatkan sebuah foto yang tidak terlalu jelas ke matanya lalu membandingkan sosok yang ada di foto itu dengan pasfoto yang tertempel besar di papan tulis.

“Pak, bukankah ini Pak Arief?”

Nik menyerahkan lembaran yang baru saja ia teliti pada atasannya. Sebuah foto ketika Aiptu Arief berkunjung ke rumah warga. Foto itu diambil di belakang seorang wanita berperawakan langsing dengan rambut dikuncir kuda agar mendapat pandangan jelas ke sosok Aiptu Arief.

“Ini jelas-jelas waktu dia minta maaf pada keluarga korban itu,” alis Wiranata mengerut parah. “Tapi itu artinya Danu juga sedang berada di sana, kan? Dia tahu kejadian ini.”

“Suruh Maria menginterogasinya lag—” Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Nik menepuk jidat karena kesal.

Wiranata mendengus. “Kamu kebiasaan nyuruh-nyuruh dia, ya?”

Nik berkacak pinggang selagi berusaha memikirkan jalan keluarnya. “Ya sudah, nanti saya coba hubungi dia untuk minta maaf.”

*

Now playing:
The Little Things Give You Away - Linkin Park



Enemies and PreysWhere stories live. Discover now