[50] Arson vs Arson

268 81 43
                                    

Lampu-lampu rotator berwarna biru milik mobil polisi dan merah milik mobil ambulans mengiluminasi kegelapan di depan rumah yang pernah separuh terbakar itu, diiringi jerit sirene yang memberdirikan bulu kuduk.

Tidak hanya petugas-petugas berseragam yang mengisi hiruk-pikuk malam itu, tetapi juga warga sekitar yang penasaran setelah mendengar dua letusan pistol. Polisi telah menggandakan jumlah garis kuning yang mengelilingi rumah itu, mencegah orang tak berkepentingan merangsek ke wilayah teritorial tim olah TKP.

Angger bercakap-cakap sejenak dengan para petugas damkar yang tadi dikonduktori olehnya. Tak lama, pasukan berjaket merah itu pamit beserta truk merah mereka.

"Kamu ngerti juga kode radio polisi, Ngger." Nik menghampirinya. Pipinya yang terluka sudah dibebat, tetapi masih ada noda merah yang merembes dari kain kasanya. Ia sudah melepaskan jaket dan rompi antipelurunya, dan tampak luka memar di tulang dadanya sebagai akibat sampingan dari peluru yang gagal menembus tubuhnya. Sebuah handuk tersampir di kedua bahunya. Di sudut bibirnya menyala sebuah rokok.

Angger tertawa salah tingkah. "Ngertilah, Bang. Demak-Pati-Kendal itu Dinas Pemadam Kebakaran, kan? Sedangkan Solo-Bandung maksudnya stand-by. Skenario terburuk hampir saja terjadi." Wajahnya berubah muram. "Nggak nyangka pelakunya Bang Jemmy."

Nik mencabut rokok dari bibir dan mengembuskan asapnya. "Dia orang yang bayangannya tipis, khas agen rahasia. Itulah kenapa dia bisa ditangkap polsek tanpa ketahuan profesi sebenarnya. Dia juga menyembunyikan sifat pendiam dan low profile-nya dengan menjadi badut di Unit 3, sampai-sampai kita lengah."

"Dia seperti macan yang menyembunyikan cakarnya dengan baik, ya?"

Nik mengisap kembali rokoknya dengan satu isapan dalam. "Ya, dan kita adalah anjing-anjing pemburu yang cuma tahu menggonggong."

Nik melihat tipe mobil yang familier di seberang jalan. Beberapa waktu kemudian, seorang perempuan yang semula mondar-mandir mencari seseorang tiba di hadapannya.

"Nik!"

Nik beranjak untuk memberi sambutan ala kadarnya, sementara perempuan itu langsung menghambur ke pelukannya.

"Eh, saya bau minyak tanah lho," Nik berupaya melepaskan diri dengan percuma. Maria tak hanya memeluknya, tetapi juga menyembunyikan wajahnya yang menangis. Air mata Maria yang mengalir di kulitnya membuat Nik geli.

"Saya benar-benar minta maaf, Nik. Kamu nggak seharusnya melakukan ini sendirian."

Nik meletakkan tangannya di puncak kepala Maria, kemudian membelai rambutnya. Ia seharusnya mengatakan sesuatu, tetapi memilih untuk tidak berkata apa-apa.

*

Penggeledahan terhadap kamar indekos Nik tetap dilakukan pagi harinya. Karena tidak banyak benda dan lemari penyimpanan di sana, penggeledahan berjalan sangat ringkas. Namun, satu bagian dinding yang penuh tempelan foto, kertas, dan coretan spidol itulah yang mengulur waktu pemeriksaan.

Abdul Gani bahkan Kombes Sinaga sampai datang ke tempat sederhana itu untuk melihat sendiri mahakarya Nik. Tempelan dinding itu bagaikan makalah atau karya ilmiah dengan latar belakang kasus, landasan teori, hipotesis-hipotesis, proses penanganan, hingga sebuah kesimpulan besar pada sebuah nama yang ditulis dengan penekanan kuat. Mungkin disertai kegeraman dan rasa tidak terima.

Tak ada yang tahu bahwa nama sang pelaku pembunuhan berantai ditulis oleh seorang pria yang beberapa saat sebelumnya hendak mengakhiri hidup dengan obat pereda nyeri, dan masih terombang-ambing dalam gelombang emosi besar akibat peristiwa itu.

*

Menjelang siang, di tengah kesibukan seremonialnya, Irjen Bahder Djohan juga mendatangi kamar indekos Nik. Para polisi kroco tergopoh-gopoh membereskan lokasi di sekitar indekos dan berbaris memberi hormat saat ia melangkah memasuki lingkungan itu.

Enemies and PreysHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin