[13] Mantan

242 82 29
                                    

“Ruang kerja Hestia itu bersebelahan dengan kamarnya. Berbagi dinding. Suaminya yang ngaku lagi di kamar menyadari dindingnya jadi panas. Nggak mungkin dia nggak dengar bunyi mencurigakan dari ruang sebelah sebelum itu,” ungkap Nik dalam perjalanan dengan mobil Maria.

“Ya, waktu ditanyai tadi malam, jawabannya berputar-putar,” sahut Maria tanpa menoleh pada lawan bicaranya, hanya fokus berkendara. “Tapi, Nik, suami korban pertama pun nggak bisa memberi keterangan jelas tentang apa yang terjadi malam itu. Sepertinya si pelaku mengincar keluarga-keluarga yang hubungannya sedang retak.”

“Kamu percaya pelakunya orang luar?” Nik menggigit sebatang rokok.

“Jangan merokok di mobil saya,” tukas Maria saat Nik baru membuka tutup pemantiknya.

Nik menutup kembali pemantiknya.

“Kita baru bisa menyimpulkan ini benar-benar pembunuhan atau bukan setelah autopsi.”

Mendekati rumah sakit polisi, Nik minta diturunkan di toko bunga. Maria tidak bertanya apa-apa, dan menepikan mobilnya di depan sebuah toko kecil yang semarak oleh bunga berwarna-warni. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Nik kembali dengan beberapa kuntum bakung segar yang dibungkus kertas koran. Wangi semerbaknya segera memenuhi kabin mobil.

Mulanya Maria tidak mengerti apa maksud perbuatan Nik itu, jadi dia sempat bertanya, “Kamu mau nge-date?”

Nik hanya menyahut dengan dehaman, dan seketika Maria teringat sesuatu.

“Oh… dia kerja di rumah sakit ini, ya?” senyum Maria terangkat sebelah.

*

Kedua penyidik itu mendatangi departemen forensik, menemui ketua departemen itu untuk bertukar sapa sejenak, dan tak lama kemudian muncul seorang dokter patologi forensik wanita yang mengenakan baju OK hijau.

“Walah walah... ada Nikolas,” suara falset wanita itu membuat dada Nik berdesir.

“Nama saya Nikod—”

Wanita tinggi montok berambut pendek itu menjentik telinga Nik. “Meskipun kita nggak berjodoh di pelaminan, kayaknya kita bakal ketemu terus di ruang autopsi ya, Nik?”

Dia mengenakan name tag dengan nama dr. Elena Bahder Djohan, SpFM. Dia adalah putri seorang jenderal polisi bintang dua.

“Ini partner saya, Iptu Maria Kasandra Fatem,” Nik memperkenalkan Maria kepada mantan kekasihnya.

“Oh, saya kira Lupita Nyong’o,” seloroh Elena selagi bersalaman dengan Maria.

“Mirip sama jempolnya aja kagak,” celetuk Nik, membuat Maria yang semula tersipu menjadi melotot geram.

“Jadi ceritanya Pak Nik batal jadi menantu kapolda?” ungkap Maria tak percaya.

“Lima tahun lalu papa saya belum jadi kapolda, jadi Nik kurang yakin. Sekarang nyesel, tuh.”

Kebohongan itu begitu menggelikan sampai Nik merasa malu. Ia segera berbalik arah untuk mencari pakaian pelindung sebelum memasuki ruang autopsi.

“Ayo, ayo, keburu busuk mayatnya.”

*

Ruangan itu dipenuhi aroma menusuk yang datang dan pergi. Sebentar seperti aroma daging ayam yang baru dikeluarkan dari freezer, sebentar kemudian seperti cairan pengawet jenazah. Tidak ada jenazah lain di sana, kecuali satu yang diselubungi kain hitam.

“Walah, rasanya seperti nostalgia ya, Nik?” ucap Elena dengan nada kemayu saat memasuki ruangan itu. Maria berhenti sebentar di ambang pintu. Kombinasi kurang tidur dan sarapan yang tidak layak membuat perutnya bergejolak.

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now