[11] Pamali

222 90 9
                                    

Selagi tim penyelidik menyisir TKP, Nik membeli kopi kalengan di warung terdekat dan pergi ke rumah ketua RT setempat di mana orang-orang berkumpul, termasuk anggota-anggota keluarga korban.

Maria baru turun dari mobilnya yang diparkir di depan rumah ketua RT. Berbeda dengan Nik yang berpakaian seadanya akibat keengganan untuk keluar rumah pada tengah malam, Maria berpakaian sangat rapi, dengan blazer hitam dan blus merah, membuatnya tampak berwibawa dan siap tempur setiap saat.

“Maaf ya, saya panggil,” ledek Nik. Ia sebenarnya sudah duluan memanggil Jemmy, tetapi ponselnya nonaktif. Sebenarnya masih ada pilihan lain, yaitu menelepon Angger, tetapi Nik tidak akrab dengannya.

“Dasar pengganggu tidur.”

Di antara anggota-anggota baru di Unit 3, Maria adalah yang terlama. Sesungguhnya, dia dan Nik satu angkatan di akademi. Mereka selalu berlomba menjadi yang terbaik. Nik pikir, setelah sama-sama lulus, sikap kompetitif Maria akan berkurang di dunia kerja. Nyatanya sikap itu justru tumbuh subur seakan menemukan pupuk yang tepat di markas polda. Namun, bagi Nik, masih lebih baik bekerja dengan rekan yang kompetitif daripada yang tidak dekat dengannya.

“Jadi, benar ini kasus keempat?” tanya Maria pelan selagi mereka berjalan menuju teras.

“Ada lima ciri-ciri yang mirip.”

“Kamu sudah mengobok-ngobok TKP?” pekik Maria.

“Dikit aja, kok. Biar cepat. Nunggu penyelidik lama.”

“Nik—” Maria bersiap memarahinya, tetapi dipotong oleh Nik seenak perut.

“Coba kamu tanya apa di sini ada yang melihat bola setan atau apalah itu.”

Maria memutar mata. “Hanya karena kamu tidak mempercayainya, bukan berarti kamu boleh mengolok-oloknya.”

“Heran juga ada orang Papua yang percaya klenik begituan.”

“Kamu belum tahu aja mitos yang berkembang di daerah saya jauh lebih banyak, sampai rasanya seperti melewati ladang ranjau. Salah makan sedikit, pamali. Salah bersikap sedikit, pamali.”

“Maaf deh, saya nggak punya kampung halaman,” respons Nik acuh tak acuh.

Maria menyapa orang yang menyambutnya di pintu dan meminta izin dengan sopan untuk menanyakan beberapa hal secara umum. Nik merokok di teras, sama sekali tidak terganggu dengan fakta bahwa ia sedang mengusut kasus kebakaran. Karena Maria akan mengadakan sesi pertanyaan tepat di balik dinding dan pintu yang terbuka, Nik tetap bisa memantaunya dari teras.

“Boleh saya tahu siapa yang memanggil dinas damkar pertama kali?” Terdengar suara Maria yang lembut, tetapi dijaganya agar tetap rendah agar tidak terdengar seperti guru TK.

“Saya,” jawab pria yang sepertinya adalah Ketua RT. “Pertama-tama, Pak Lono menelepon saya, minta dipanggilkan pemadam karena tidak tahu nomornya. Setelah itu saya tanya ada apa? Terus istri saya teriak-teriak ada kebakaran.”

“Pak Lono?”

“Itu... pemilik rumah yang terbakar.”

Suara Maria kemudian terdengar lagi, “Jam berapa tepatnya Pak Lono menelepon?”

“Sekitar....”

“Jam setengah dua belas! Saya menelepon Pak RT jam setengah dua belas,” tukas pria lain, yang suaranya dikenali Nik sebagai suami korban yang tadi meneriakinya. Nik melongok ke dalam rumah dengan rokok masih terjepit di bibirnya.

“Bisa Bapak jelaskan bagaimana awal kejadiannya?” tanya Maria.

“Istri saya dosen, biasanya dia bekerja di ruangannya sampai tengah malam. Tapi sekitar jam sebelas lewat, saya keluar kamar untuk minum ke dapur. Saya merasa gerah sekali. Kamar kami sebelahan sama ruang kerja istri saya. Waktu saya mau kembali ke kamar...  saya mendengar bunyi aneh dari ruang kerjanya. Seperti bunyi kayu yang terbakar. Saya....” Pria itu terisak-isak lagi, lalu menutupi matanya dengan lengan. “Waktu saya masuk kamar, saya baru merasa dinding kamar yang berbatasan dengan ruang kerja istri saya jadi sangat panas. Sudah terlambat. Waktu saya mau buka pintu ruang kerja itu, kenopnya panas sekali.”

Pria itu kemudian menunjukkan telapak tangannya yang memerah, kemungkinan besar karena luka bakar. “Andai saja saya menyuruhnya tidur cepat tadi.”

“Saya turut berduka cita atas meninggalnya istri Bapak,” ucap Maria diplomatis. Dari luar, Nik mendengus tidak setuju dengan sikap Maria.

“Emm... Pak RT... tadi Bapak bilang istri Anda teriak-teriak ada kebakaran,” Maria kembali ke orang yang dia wawancarai pertama. “Istri Anda di mana waktu itu?”

“Dia lihat lewat jendela di sini.” Pak RT beranjak ke ruang yang lebih dalam, sepertinya ingin menunjukkan jendela yang dimaksud. Nik mengira-ngira. Dari rumah ini memang bisa sedikit melihat rumah yang terbakar itu walaupun terhalang pagar beton rumah tetangga.

“Jadi, baru melihat setelah ada kebakaran, ya? Sebelumnya, ketika belum ada kebakaran, apakah ada yang melihat... bola api melayang?”

Dari cara bicara Maria, Nik tahu polwan itu juga malu mengutarakan hal yang mustahil itu. Namun, karena bola api itu adalah elemen penting dalam kasus pembunuhan berantai ini, mau tidak mau itu harus tetap ditanyakan.

“Ibu mau bilang istri saya mati karena disantet orang?” teriak suami korban.
Nik mematikan rokoknya di asbak meja teras dan masuk. Meskipun dikatai tidak cakap bekerja dalam tim, ikatannya dengan sesama polisi masih erat. Ia tidak terima ada sesama anggota Unit 3 dibentak-bentak oleh orang yang berpotensi menjadi pelaku.

“Saya tidak bilang begitu,” Maria menyanggah lembut. “Saya hanya ingin memastikan apakah kasus kematian pasangan Anda ada hubungannya dengan kasus sebelumnya atau tidak.”

“Kasus sebelumnya? Apa maksudnya kasus yang membawa-bawa setan bola api itu?” tanya Ketua RT pelan. Maria tersenyum sopan, tidak ingin menjawab.

“Yang benar saja! Istri saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan si Danu. Jangan bicara sembarangan tanpa bukti ya! Saya tuntut baru tahu rasa!”

Danu? Rasanya tadi ada nama Danu di suatu tempat di berkas kasus itu.

“Bapak kenal Danu?” tanya Nik. Maria mengernyit karena tidak suka tugasnya diserobot.

Lono gelagapan. “Ti-tidak, kok.”

“Bisa Bapak jelaskan kenapa Bapak langsung mengaitkan antara bola api terbang dengan orang bernama Danu?” lanjut Nik tanpa ampun.

“Di-dia itu pelakunya kan, Pak?” balas Lono.
“Siapa yang bilang begitu?”

Maria menepuk-nepuk Nik, menyuruhnya keluar.

“Kalian itu nggak becus jadi polisi! Danu itu pelakunya! Kenapa dia belum ditangkap?” teriak Lono lagi. Nik mau membantah, tetapi Maria semakin keras mendorongnya. Lono masih menumpahkan amarahnya tanpa saringan hingga perlu ditenangkan oleh orang-orang di sana.

Maria berinisiatif untuk meminta maaf, tetapi pria yang sedang berduka itu hanya semakin keras mencercanya. Di sisi lain, para perempuan juga berbisik-bisik tentang betapa tidak kompetennya para polisi ini. Padahal baru hari ini Nik dan teman-temannya menangani kasus ini. Cercaan itu seharusnya ditujukan pada tim penyidik sebelumnya yang tidak cakap.

Maria menghela napas. Situasi sudah tidak kondusif lagi untuk melanjutkan wawancara. Dia pun berpamitan pada ketua RT.

Sekeluarnya dari kerumunan warga yang memberi tatapan merendahkan padanya, Maria mendatangi Nik yang kembali merokok di pinggir jalan.

“Tolong biarkan saya bekerja sendiri,” ucapnya keras. “Kamu juga kerjakanlah tugasmu sendiri, tidak usah ikut campur tugas orang lain.”

Nik mengangkat dagunya. “Jangan terpedaya drama orang itu. Sekalipun dia bertingkah seolah-olah kehilangan, kalau menurut kondisi TKP, dialah satu-satunya orang yang paling mungkin membunuh istrinya.”

“Kamu sudah lupa pada asas praduga tidak bersalah?”

“Kenapa harus berpraduga baik-baik terhadap orang yang tidak dikenal?” Nik merendahkan nada bicara hingga suaranya berubah parau.

Maria menghela napas dalam-dalam hingga dadanya membusung. “Kamu sedang mempersulit dirimu, Nik.”

“Ah, masa?” Nik mengembuskan asap rokoknya.

*

Now playing:
She Couldn't - Linkin Park

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now