[20] Teman Satu Sekolah

210 83 13
                                    

Maria baru saja selesai menata rambut ikalnya membentuk sanggul kecil di depan cermin kamarnya. Dia mengenakan gaun tanpa lengan berwarna alice blue dan seuntai kalung mutiara untuk melengkapi penampilan Minggunya. Setelah siap, dia beranjak keluar dan mengetuk pintu kamar di sebelah kamarnya.

“Ab, kamu sudah siap?”

Sebelum tidur tadi malam, adiknya berjanji kali ini akan ikut kebaktian bersamanya. Namun, setelah berbulan-bulan absen, Maria tidak yakin hari ini akan menjadi hari yang berbeda.

Dia memutar kenop pintu, bersyukur karena adiknya tidak pernah mengunci diri di kamar.

Ruangan itu lebih kecil dari kamar Maria, tetapi dindingnya dicat dan didekor dengan pernak-pernik berwarna peach. Beberapa poster dari satu boyband Korea ditempelkan berderet-deret di satu bagian dinding. Bagian lain dihiasi fairy lights yang dipasang membentuk gambar hati.
Dan di ranjang single-nya, hanya ada gundukan yang bergerak-gerak di bawah selimut.

“Ab....” Maria menyibak selimut itu, dan mendapati adiknya masih memejamkan mata dengan wajah bantal, walaupun tidak benar-benar tidur. “Ayolah, kamu tidak akan bertemu orang-orang jahat itu di gereja, kan?”

“Aku nggak mau ke mana-mana hari ini, Kak.”

“Kita nggak bisa begini terus, Abigail. Jangan buat mereka tertawa dengan bersikap lemah.”

“Aku bukan Kakak yang kuat dan pemberani!” Gadis itu berteriak. “Nggak semua orang akan bertindak seperti Kakak jika mengalami apa yang aku alami!”

Abigail menutup dirinya kembali dengan selimut.

Maria berkacak pinggang. “Kalau begitu pergilah sarapan. Aku sudah membuat bubur.”

“Aku akan makan saat aku mau makan.”

Perilaku adiknya belakangan ini benar-benar menguji kesabaran Maria. Wiranata berkata ini masanya pemberontakan remaja. Namun, masa remaja Abigail sudah lewat lima tahun yang lalu. Sekarang dia adalah wanita dewasa pekerja kantoran. Dia dibully di media sosialnya, dan kini selalu bersikap paranoid. Dia semakin sulit bangun di pagi hari, semakin jarang tersenyum dan bercanda dengan kakaknya, bahkan tubuhnya semakin menyusut karena sering melewatkan waktu makan.

Maria keluar dari kamar adiknya, dan tatapannya langsung berserobok dengan foto yang dibingkai di dinding. Foto mereka dalam versi lebih muda, dengan rambut laksana surai singa yang mereka banggakan sekaligus menjadi bahan ejekan pribadi di antara mereka sendiri. Mereka mengenakan gaun satin serupa yang dijahit oleh ibu mereka sendiri. Mereka sama-sama berpose konyol layaknya dua sahabat karib.

Maria memiliki dua adik laki-laki yang lebih tua daripada Abigail, tetapi karena keduanya sudah berkeluarga di kampung halaman mereka, tinggallah Abigail yang menjadi tanggungannya. Dia ingin adiknya mendapat pendidikan dan kesempatan berkarier yang lebih bagus di kota besar, tanpa pernah mengira akan ada konsekuensi lain yang harus dihadapinya.

*

Setelah kebaktian, Maria tidak langsung pulang, dan memutuskan untuk bertemu teman-teman wanitanya di sebuah kedai kopi. Setiap hari bekerja di tempat yang disesaki laki-laki membuat sisi femininnya dahaga. Namun, perjumpaannya dengan teman-teman lama juga tidak lantas membuatnya nyaman. Teman-temannya rata-rata sudah berkeluarga dan sedang mengurus anak kecil. Mereka hanya sibuk mengeluhkan kehidupan mereka yang bertambah seru sejak punya anak, atau memamerkan liburan yang tidak sesuai dengan bayangan.

Lama-kelamaan, Maria merasa terasing. Dia tidak merasa tubuhnya menciut di tengah wanita-wanita itu, tetapi merasa kursinya terus dijauhkan dari meja, jaraknya dari kursi teman-teman di sebelahnya terus melebar.

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now