Prolog

1.1K 174 9
                                    

Malam itu begitu hitam hingga kegelapan berdengung lembut di telinganya.

Kegelapan bertambah kental begitu napas yang gemetaran dituangkan ke dalamnya, diaduk dengan popor senapan yang masih hangat dan berbau mesiu menusuk. Perlahan-lahan, anyir darah mendominasi.
Ada dua nyawa di ruangan itu. Yang satu berada di tubuh yang berdiri, yang satu lagi berada di tubuh yang menggelepar di lantai. Ini akan menjadi malam yang panjang untuknya. Tak ada yang mau mengakhiri dengan lebih cepat. Setiap helaian tipis yang terlepas dari tenunan jiwa mesti dirayakan. Penderitaan yang bertambah hebat setiap detiknya mesti dinikmati.

Erangan merusak campuran syahdu malam. Denyut nadi menguat, otot-otot menggeliat. Sebuah perlawanan. Namun, nyawa yang masih sehat tak berpikir ini sudah memasuki waktunya. Biarkan ia memberontak sedikit. Biarkan noda darah menyebar membentuk lukisan temporer di lantai. Biarkan sisa energi yang dimilikinya dihabiskan. Tak perlu terburu-buru. Tak akan ada yang datang. Teriakan-teriakan itu akan diserap pepohonan yang mengintai dalam diam. Mereka tidak akan bicara pada siapa pun. Mereka justru menatap sang sekarat dengan liur menetes layaknya hewan buas. Karena tidak ada yang lebih buas sekaligus bijak dari sebuah pohon. Itulah mengapa manusia membenci mereka. Manusia berusaha memusnahkan mereka dan menjadikan daging mereka benda lain yang mereka pikir lebih berguna.

Padahal tidak ada benda ciptaan manusia yang berguna. Tangan manusia diciptakan untuk merusak. Merobek. Mencabik. Mengorek. Dan itulah yang dilakukan oleh salah satu nyawa yang sedang bergulat itu kepada nyawa yang lain. Bohong jika dikatakan ada manusia yang ingin mati. Ia tidak pernah ingin mati. Ia hanya ingin mengalahkan manusia lain dalam perebutan tempat sempit bernama bumi. Bumi tak pernah cukup luas untuk satu manusia. Alam semesta tak pernah cukup untuk dijelajahi. Manusia hanya ingin menang dari manusia lainnya.

Salah satu dari mereka menyadarinya. Ia harus memenangkan pertempuran ini. Tak akan ada ruang baginya untuk hidup jika nyawa lain masih ada. Ia harus memusnahkannya. Mencabut nyawa yang tertaut di tubuhnya tak akan cukup. Tubuh itu juga harus dihancurkan hingga tiada kemungkinan sang nyawa untuk kembali. Tubuh itu harus menjadi abu, lalu abunya harus ditebar ke setiap sudut dunia. Atau minimal, dijadikan pakan pohon-pohon yang kelaparan di luar sana.

Ketika kegelapan telah letih memanggul tugasnya—menyelubungi rahasia-rahasia malam, itu adalah ketika rumah kecil itu terbakar dan pohon-pohon di sekelilingnya terlalu lamban untuk menyelamatkan diri.

*

Now playing:

In The Wood Somewhere - Hozier

Enemies and PreysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang