[44] Rencana Kudeta

164 86 21
                                    

Saat Nik tiba di indekos Mike, baru ada satu mobil penyidik Unit 1 yang parkir di seberang pagar. Nik tidak mengenalnya, tetapi si penyidik mengenal wajahnya. Begitu ia menyadari Nik mendekati kamar nomor 4, ia bergegas menghampirinya.

"Hei, Anda dilarang mendekati kediaman tersangka. Anda tahu aturannya. Apa yang Anda lakukan di sini?"

Nik menyadari kegugupan penyidik bertubuh kecil ini. Ia berencana memanfaatkannya.

Ia bersandar ke pintu kamar Mike dengan posisi menyamping, lengan menyilang di dada. "Anda tahu saya adalah penyidik kasus kebakaran terbaik di markas?"

"Dulunya," tukas penyidik itu.

"Tapi ini masalah pengalaman, bro, bukan masalah siapa yang memegang kasus sekarang. Kamu sudah pernah bicara dengan orang ini?" Nik menyentakkan kepala ke arah pintu, merujuk pada si pemilik kamar. Si penyidik menggeleng. "Kamu sudah pernah dengar ide tergila yang bisa dipikirkan seseorang untuk membakar sebuah tempat?"

"Oke, saya tahu kalau soal pengalaman dengan pelaku pembakaran, Anda unggul. Kenapa tidak ceritakan saja pada pemeriksaan besok di markas?"

Nik mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli. "Karena akan sudah sangat terlambat jika kalian baru mengetahui faktanya besok, sementara kalian menggeledah kamarnya hari ini. Omong-omong, saya sudah pernah menggeledah kamar ini sebelumnya. Oh ya, kamu sudah bawa surat izinnya, kan?"

Penyidik itu masih bergeming. "Saya sudah menunjukkannya kepada pemilik indekos. Saya tidak berkewajiban menunjukkannya kepada Anda."

"Pintar, kamu pasti ingin cepat jadi kapolda," ucap Nik sarkastis, menahan kekesalannya. "Dengar, penjahat genius seperti dia tidak pernah menyimpan senjata di rumah. Beberapa kali saya berurusan dengan keluarga Risena, saya tidak pernah menemukan barang bukti yang saya inginkan di rumahnya. Dominic Michael Risena bisa menggunakan apa saja yang ia dapatkan di sekitar TKP untuk melakukan kejahatan. Dia tidak pernah membawa-bawa benda yang ia miliki untuk beraksi. Kalau kamu dengar apa kata saya, kamu sudah menghemat waktu dan bisa fokus pada hal yang lebih penting seperti... mengapa dia melakukannya."

Nik heran sendiri mengapa tiba-tiba ia jadi banyak bicara dan berputar-putar. Nik yang biasanya hanya mengucapkan kata yang benar-benar perlu, tanpa perlu penekanan dan perulangan.

Sebagai balasan, penyidik itu memasang wajah masam. "Terima kasih atas sarannya. Saya memiliki metode saya sendiri."

Nik menggeram jengkel.

Pada saat yang sama, mobil tim forensik tiba. Pemilik indekos membawakan kunci cadangan kamar nomor 4. Ketika tim penyidik membuka pintu kamar itu, bukan aroma disinfektan seperti tempo hari yang pertama kali menguar, melainkan aroma dupa.

Si penyidik gugup mengeluhkan aroma itu dan bertanya penganut apa Dominic Michael Risena. Kemudian ia menyadari tidak ada semacam altar persembahan di kamar itu.

Selagi tim penyidik itu menyisir kamar untuk mencari sumber aroma ganjil itu, Nik melirik cermin pada pintu lemari pakaian yang sedang dibuka, dan melihat siluet seekor anjing besar yang berdiri di depan pintu. Jantungnya mencelus, dan sesaat ia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang dipantulkan oleh cermin itu. Tak ada apa-apa di sana.

Nik segera menyadari apa yang terjadi.

Ia tersenyum sendiri. Jelas-jelas ia tidak mau berada di ruangan ini lebih lama lagi.

Ia merapatkan diri ke laci meja belajar, membuka sedikit laci nomor 3, dan memasukkan semua Tramadol yang dapat ia raba di dalam laci itu ke saku celana dan saku jaketnya. Ia melirik cermin lagi. Siluet itu masih diam di sana. Karena hanya berupa siluet, Nik tidak bisa melihat di mana matanya, atau sedang ke arah mana mata anjing itu menatap. Ia hanya sadar diri bahwa di antara semua pria yang sedang menggeledah kamar ini, hanya dirinya yang dikenali si anjing.

Enemies and PreysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang