[15] Residivis

216 83 25
                                    

Empat tahun lalu.

Nik mengetuk-ngetukkan jari ke meja yang menjadi batas antara dirinya dan bocah nakal itu. Air dalam mok putih di meja bergetar membentuk pola lingkaran.

Atasan Nik kala itu, Siswono, mondar-mandir di belakangnya. Dominic Michael Risena didampingi oleh seorang penasihat hukum, tetapi setiap kali ia berbicara, anak yang dipanggil Mike itu selalu membantah, seolah-olah tidak ingin dilindungi oleh siapa pun.

Pengakuan Mike tentang perbuatannya membakar gedung itu tidak mengejutkan bagi Nik. Ia sudah mendapat kesimpulan mengenai kasus itu sehari sebelum Mike menyerahkan diri. Yang tidak diperkirakan adalah keinginan dari anak itu sendiri untuk menyerah. Nik mendatangkan ahli psikologi untuk membuat-buat alasan. Agar anak itu tidak perlu diproses secara hukum. Agar masa depannya masih bisa dipulihkan. Sejujurnya, ia menyukai anak itu. Mungkin sebenarnya itu adalah bias karena ia menyukai sang ibu. Ibu Mike yang rapuh dan merana. Sosok wanita yang membuat Nik merasa perlu jadi pelindungnya.

Namun, Mike tetap bersikeras bahwa tidak ada yang salah dengan kejiwaannya. Ia mengaku telah membakar dengan kesadaran penuh, tidak dipaksa ataupun diancam oleh siapa pun. Sekarang tinggal pertanyaan terakhir yang belum terjawab.

“Kenapa kamu melakukannya?” ucap Nik lembut. Dahulu, ia tidak pernah mengeraskan nada bicaranya. Bahkan ada yang berkata bahwa itu memang sudah cetakannya dari kecil.

“Ho.” Sudut bibir Mike terangkat membentuk senyuman. “Haruskah saya mengatakannya, walaupun itu tidak masuk akal?”

“Akan ada orang yang menilai apakah alasanmu masuk akal atau tidak nanti.”

Mike bersandar ke kursi dan bersedekap. “Saya cuma iseng, sih. Tidak terbakar pun tidak apa-apa. Terbakar itu bonus.”

Pulpen yang sedang dipakai Nik untuk menulis tiba-tiba menembus kertas.

“Pak Polisi, saya boleh ke toilet? Kebelet nih.”

Nik memutar badan untuk bertukar pandangan dengan atasannya. Siswono mengangguk.

Ia mendesah dan bangkit. “Ayo.”

*

Tubuh Mike hampir sama tinggi dengan dirinya, hanya saja tidak kekar. Bahunya agak bungkuk. Ibunya berkata anak itu punya asma, tetapi anehnya malah dipekerjakan sebagai tukang bersih-bersih.

Tuntutan ekonomi, Nik memaklumi. Ia sendiri dulu melakukan berbagai hal demi meringankan beban finansial orangtuanya. Namun, andai tidak terimpit kondisi ekonomi yang sulit, apakah anak itu tetap akan membakar dengan alasan iseng belaka?

Mike berjalan menyusuri koridor sambil bersiul riang. Nik diam saja di sebelahnya, sibuk berpikir. Beberapa hal tentang anak itu belum bisa ia mengerti.

“Menurut Pak Polisi, ibu saya gimana?” kata Mike selagi menunaikan hajatnya di urinoir.

Nik bersandar di kosen pintu toilet sambil melipat lengan di dada. “Dia ibu yang kamu sia-siakan kebaikannya.”

“Bukan, bukan. Coba Anda memandangnya sebagai lawan jenis.”

“Saya tidak punya penilaian apa-apa tentangnya.”

“Tapi barusan Anda bilang dia baik,” bantah Mike.

Nik terdiam sejenak, kesal oleh ketajaman pengamatan anak itu.

“Tidakkah seharusnya kamu berterima kasih padanya karena dia sudah melahirkan, membesarkan, dan membiayai pendidikanmu selama ini? Kamu pikir perbuatanmu ini akan membuatnya senang?”

“Dia sudah saya beri pilihan, kok. Kalau dia warga negara yang baik, dia akan membawa saya ke sini. Atau, dia bisa diam saja seolah ini tidak pernah terjadi. Saya bijaksana, kan?” Mike berpindah ke wastafel untuk mencuci tangan.

Enemies and PreysWhere stories live. Discover now