Buaya Makan Kurma

971 64 4
                                    

Untuk yang kesekian kalinya, aku harus menanggung pedihnya mencintai seseorang. Kecewa pada sosok yang sama. Dan lagi-lagi aku masih mengharapkannya. Tak salah memang mengharapkan kehadiran sosok suami bagi seorang istri. Itu hal yang wajar. Di mana ada tali pernikahan yang menjadi dasar atas pengharapan itu sendiri. Namun, hakembali lagi, bagaimana jika yang aku harapkan tak mengharapkan kehadiranku juga?

Bukan mau suudzon, tetapi bukti sudah ada. Selama seminggu aku di rumah orang tuaku, tak pernah sekalipun Gus Rasyid datang untuk membujuk kedua orang tuaku dan mengajakku pulang.

“Bel, ayo makan dulu! Nggak baik kamu menunda-nunda makan. Kamu harus ingat, ada janin yang juga harus kamu perhatikan pertumbuhannya.” Bunda datang dengan membawa sepiring makanan, jika di waktu yang normal pasti aku akan melahapnya sampai habis. Namun, sekarang berbeda, baru saja aku mencium baunya sudah membuat asam lambungku naik. Sebisa aku tahan, agar tidak membuat Bunda kecewa.

“Taruh saja di nakas, Bunda. Nanti pasti aku habiskan.”

Bunda duduk di pinggiran ranjang, tepat di sampingku yang sedang duduk bersandar. Tangannya terulur mengelus puncak kepalaku. Nyaman rasanya.

“Bunda nggak tega lihat kamu kayak gini. Kamu yang nyuruh Bunda sama Ayah jemput kamu. Tapi, kok malah kamu uring-uringan tiap hari. Sebenernya Bunda sama Ayah nggak mau ikut campur masalah rumah tangga kalian. Kalian sudah sama dewasa, apalagi usia pernikahan kalian yang masih seumur jagung. Kamu harus ingat, mertuamu bukan orang sembarangan, nama baiknya juga kamu harus jaga.”

Aku tersenyum, mencoba meredakan kekhawatiran Bunda. Bagaimanapun dia benar. Memang aku yang memaksa mereka untuk menjemput dan memintaku kembali kepada Gus Rasyid saja, namun lebih dari perkiraanku. Mereka juga memintaku kepada mertuaku.

Awalnya mereka menentang, karena bagaimanapun ini masalah rumah tangga anak mereka yang sudah seharusnya tak ada campur tangan mereka lagi. Namun, aku bersikeras meyakinkan mereka, jika keputusanku sudah matang dan penuh pertimbangan.

Aku yang salah di sini.

Aku menyesal sekarang.

Semua berawal semenjak Gus Rasyid mendiamkanku, gara-gara aku pulang sampai larut malam dan dia salah paham. Setiap hari Nada semakin membuatku terpojokkan, dengan semua perkataannya yang berhasil meyakinkanku. Aku masih ingat dengan perkataannya sejam sebelum aku dijemput Ayah dan Bunda.

 Apa Mbak beneran yakin, Mas Rasyid mencintai Mbak? Sebetulnya aku nggak enak mau ngomong sama Mbak. Tapi mau gimana lagi, dari pada Mbak terlalu berharap dan nantinya malah Mbak yang harus sakit hati. Anak yang aku kandung memanglah anak Mas Rasyid, dia berbohong karena takut sama kedua orang tuanya. Aku sih memaklumi, karena dia berjanji akan menyelesaikan ini semuanya secepat mungkin.”

Kala itu aku merasa tertantang untuk membuktikan perkataannya. Namun, aku lupa satu hal, siapalah Gus Rasyid yang sebenarnya. Yang memang notabenenya seorang playboy dan pembual. 

Aku mengajaknya untuk membuktikan dengan cara yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Cara itu tiba-tiba terbesit dalam pikiranku. Dengan percaya dirinya aku bicara kepadanya, “Lihat saja, siapa yang akan diperjuangkan oleh Gus Rasyid. Aku yakin, dia tidak akan betah berpisah, barang sehari pun denganku.”

“Bagaimana jika dugaan Mbak salah? Dan Gus Rasyid tak pernah memperjuangkan Mbak?”

Lagi-lagi dengan sombongnya aku menjawab, “Batas akhir hanya tiga hari. Aku yakin dia akan datang menjemputku. Jika hari itu memang terjadi, maka kamu yang harus mengerti. Jangan pernah lagi masuk dalam tengah-tengah pernikahanku.”

Kesepakatan malam itu terjadi dan dengan cepat aku menghubungi Bunda dan Ayah. Aku sudah tidak sabar ingin membuktikan kepada semua orang bahkan dunia, bahwa diriku sudah berhasil menaklukkan hati seorang Rasyid. Menjadi satu-satunya wanita pemilik cintanya.

Dan, ini buah dari kesombonganku. Hari yang menjadi batas akhir sudah lewat tiga hari yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tandanya aku akan dijemput. Aku semakin jenuh hanya berada di dalam rumah setiap hari. Sepertinya keputusanku untuk berhenti bekerja juga salah. Ah ... kepalaku semakin berdenyut membuatku sulit untuk beraktifitas.

Aku cek kembali pesan whatsapp dari suamiku, siapa tahu dia mengirimkan pesan baru untukku. Sial! Dia sedang online, namun tak ada niatan untuk mengirimiku pesan, meski sekedar bertanya kabar.

**

Tanganku menengadah, mengamini setiap bait-bait doa yang dibacakan oleh seseorang yang tak asing bagiku. Lalu mengusap wajah sekaligus air mata yang sempat mengalir di pipi. Aku tersenyum kala orang di sampingku menarik tanganku untuk digandenganya.

Aku rasa ini keputusan yang tepat bagiku. Aku ingin sejenak menepi dari luka yang selalu menemani hari-hariku. Melangkahkan kaki untuk menghargai jasa Beliau, orang-orang yang berjasa dalam perkembangan Agama Islam di tanah Jawa. Dan tentunya juga untuk mengingat pada kematian. Karena sejatinya, kematian pasti akan meminang setiap manusia yang hidup. Sampai batas waktu yang telah ditentukan.

“Kamu masih kuat, kan?”

“InsyaAllah kuat,” jawabku sambil berjalan di belakangnya melewati kerumunan orang yang berjalan berlawanan arah. Tangannya erat menggenggam tanganku. Seolah takut terpisah dariku.

Jadi begini ya, rasanya memilik seorang kakak. Serasa ada yang melindungi, meski sejatinya aku sudah punya malaikat pelindungku sendiri, suamiku. Meski entah bagaimana kabarnya sekarang. Semoga dia baik-baik saja.

Mataku terfokuskan pada satu titik di celah-celah orang yang berjalan. Perlahan aku menghampiri, membelah kerumunan orang yang tidak ada lelahnya meski waktu menunjukkan lewat tengah malam.

“Astagfirullah, Bella! Mbak udah kaget pisah sama kamu. Aku kira kamu hilang. Duh ... Mbak beneran takut tahu!”

Aku hanya meringis mendengar protesnya sekaligus merasa bersalah telah membuatnya khawatir. Kasihan lihat muka paniknya. Duh! Adik ipar macam apa aku ini, yang suka membuat kakak iparnya khawatir. Maafkan adik iparmu ini ya kakak ipar!

“Kamu kok nggak bilang dulu mau beli kurma?” tanyanya dengan antusias.

“Lupa Mbak, habisnya lihat ada kurma yang masih ada tangkainya jadinya penasaran. Sampai nggak inget mau pamit sama Mbak.”

“Udah pesen belum?”

“Udah Mbak, itu masih ditimbang, lima kilo. Sekalian buat oleh-oleh.”

“Itu mah, cukup buat oleh-oleh suamimu aja. Dia kan paling doyan kurma yang kayak gitu.”

Hampir saja rahangku terlepas dari tempatnya. Lima kilo kurma? Yakin bisa habiskan begitu banyaknya? Aku juga sedikit merasa aneh sih. Tidak seperti biasanya aku begitu antusias melihat buah kurma. Apa mungkin efek aku sedang mengandung anak dari orang yang doyan makan kurma? Jadinya aku ngidam buah kurma. Bisa jadi, bisa nggak juga. Mungkin kebetulan saja.

Dalam perjalanan kembali ke bis, aku tersenyum menyadari sesuatu. Rupanya suamiku yang mantan buaya itu, punya kesukaan yang dibilang seimbang dan lengkap. Dia menyukai makanan dari olahan pare yang dikenal dengan rasa pahitnya dan kurma buah dengan rasa yang manis legit. Buah dari Jazirah Arab yang kaya akan nutrisi dan memiliki banyak sekali manfaatnya.

Pahit dan manis, sepertinya menjadi bagian dalam hidupnya. Memang benar bukan, karena sejatinya hidup bukan soal kebahagiaan melulu, kesedihan pasti akan menemani. Lalu bagaimana kabar diriku, yang baru terjun dalam dunia pernikahan dan merasakan sulitnya bertahan, sudah ingin menyerah.

Bersambung ....

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Tekan ⭐, Komentar, dan Follow akunku.

Terima kasih semuanya.

Salam Rindu dari Gus RasyidTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon