Tumis Pare Bumbu Cinta

1K 77 0
                                    

Meski ada sesal yang menyelimuti hati, namun ada rasa syukur juga yang menyeimbanginya. Sesal karena hatiku yang sudah sejenak melupakan luka itu, tapi karena kecerobohanku sendiri akhirnya harus terluka lagi.

Sesalku karena mendengar suara itu lagi, suara merdu yang selalu berhasil menggoyahkan pertahananku.

Sampai saat ini, aku masih hafal dengan tartil bacaannya, serta langgam yang sudah menjadi ciri khasnya. Tak salah, jika itu menjadi daya tariknya, hingga membuat Sang Kyai pengasuh pondok pesantrenku meminangnya untuk sang Putri sulung.

Semalam,

saat mata ini sulit terpejam. Entah apa yang membuat tubuh ini tergerak hingga berada di teras Mushollah putri. Kesunyian malam membawa suaranya, menyapa gendang telinga hingga menyusup ke dalam hati. Mengetuk hati yang sudah mati, hingga rasa itu hidup kembali.

Entah siapa yang harus disalahkan di situasi ini. Aku atau dia? 

Tapi sepertinya memang ini salahku.

Salahku, yang belum sepenuhnya bisa melupakannya dan masih berharap bisa memiliki seseorang seperti dia.

“Bel! Parenya hangus.”

“Hah?” Aku langsung gelagapan membolak-balik tumis pare di penggorengan. Gara-gara melamun, tugasku sampai terabaikan.

“Mikirin apa sih, Bel.”

“Enggak ada mbak.”

“Enggak ada, tapi kok melamun dari tadi?”

Aku hanya meringis menanggapi pertanyaan terakhir mbak Azizah, karena memang sudah kebiasaanku yang sulit mencari alasan.

“Kalau ada apa-apa cerita saja sama mbak, enggak perlu sungkan-sungkan.”

Lah kan, mbak Azizah langsung bisa menebak apa yang aku alami sekarang. Rupanya pikiranku memang mudah kebaca oleh orang lain, meski aku sudah berusaha menyembunyikannya.

“Bel, Bel. Kamu makin dewasa makin irit ya?”

Aku mengerutkan kening, tidak paham dengan maksud mbak Azizah. Perasaan aku tipikal orang yang sedikit boros, bukan hanya sedikit sih, tapi memang boros.

“Aku masih tetap kok Mbak, masih boros kayak dulu. Aku sudah kerja, tapi aku enggak tahu uangku ke mana saja. Tahu-tahu sudah habis, bahkan sebelum akhir bulan. Terus mbak masih bilang aku irit, irit dari mananya?”

“Baru mau bilang kamu irit omong, eh enggak taunya langsung berubah cerewet lagi.”

Aku melongo mendengar jawaban mbak Azizah yang jauh dari perkiraanku. “Kamu pakek resep apa sih? Kok Gus Rasyid bisa doyan banget sama tumis paremu. Tumis pare yang aku buat aja enggak begitu doyannya dia. Emang dimakan sih, tapi dalam sekali makan enggak bakalan habis semangkok tumis pare. Semalem Umi nyari kamu, saking senengnya ngelihat Gus Rasyid yang makannya lahap banget.”

“Mbak pengen tau resepnya apa?”

“Mau ....”

Aku membiarkan mbak Azizah menungguku memasukkan tumis pare yang sudah matang ke mangkok. Lalu mencuci penggorengan serta mengelap kompor yang selesai digunakan agar tetap bersih. Biar semakin menumpuk rasa penasarannya.

“Kamu ya, sengaja bikin orang penasaran. Suka sekali loh, menyiksa Mbakmu ini.”

Mbak Azizah yang sedang memotong sayuran, memanyun bibirnya. Aku tertawa puas dalam hati, memang aku teman yang jahat ya.

“Wah, Bel. Mau saingan sama aku kamu. Aku saranin kamu mundur alon-alon, biar enggak nyesek kamu kalah dari aku.”

Aku membiarkan mbak Azizah yang terus berguman kesal, karena posisi sedang berada di dapur pesantren, jadi tidak mungkin dia akan berteriak kepadaku. Aku memang sengaja membisikkan kalimat yang akan membuat tensi darahnya naik seketika.

“Resepnya pakek bumbu cinta.” 

Jujur, itu hanyalah kebohongan semata. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta, dengan seseorang yang wajahnya saja tidak tahu. Apalagi di sudut hati sana masih ada nama istimewa, yang sulit enyah, meski sudah aku usir berkali-kali.

Brak-brak-brak!

Aku menatap takut ke arah pintu dapur yang di paksa di buka dari luar.

Pintu dapur yang menghadap langsung ke pondok putra membuatku ragu untuk membukanya. Sedangkan posisiku hanya sendiri, setelah kepergian mbak Azizah serta abdi dalem yang lainnya. 

Setelah cukup lama, dengan keyakinan diri, aku buka perlahan kunci yang mengganjal pintu. Karena memang bukan sengaja aku ingin menampakkan diri di depan pria di luar pintu. Tapi karena takut ada hal yang darurat, jadi tidak ada salahnya jika aku membantu membuka pintu.

“Astagfirullah, kamu!” pria itu sama terkejutnya dengan aku.

Aku tidak pernah berpikir bisa bertemu dengannya di tempat ini.

Bersambung...

Budayakan tinggalkan jejak ya!

Jangan lupa like dan komen

Follow akunku juga ya.

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now