Tidak Pulang

813 59 0
                                    


"Suamimu ke mana, Nduk. Kok Mbah enggak kelihatan dia dari tadi.”

Simbah duduk di meja makan, aku langsung menuangkan nasi untuknya. Semenjak aku tinggal di rumah ini, memang aku sering membantu seperti memasak di pagi hari. Meski di rumah ini sudah tersedia satu pembantu, tapi sebagai menantu apalagi seorang istri, aku tetap berusaha menjalankan peranku sebagai seorang istri. Menyiapkan sarapan untuk suami sekaligus Simbah.

“Sudah Nduk, jangan banyak-banyak. Mbah kurang nafsu makan. Terima kasih ya Nduk.”

Enggeh Mbah, sama-sama. Tadi Gus Rasyid sudah berangkat sepulang dari masjid Mbah,” kataku, menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

“Kok tumben anak itu berangkat pagi-pagi. Pasti dia belum sarapan?”

Aku mengangguk membenarkan, sebenarnya ingin menjawab namun mulutku sedang penuh dengan makanan.

Nduk, kamu masih panggil suamimu Gus, toh?”

Hatiku sedikit tersentil, mendengar perkataan Simbah. Memang tidak ada yang salah dari perkataannya. Karena memang aku seharusnya seperti pasangan yang lainnya, yang memanggil dengan panggilan kesayangan. Seperti sayang, mama papa, atau bisa juga mas dan dia memanggilku Adek.

Tapi aku rasa itu masih belum berlaku mengingat hubunganku yang masih tak sejalan dengannya.

Enggeh Mbah,” kataku tersenyum malu.

“Kamu enggak mau merubah panggilanmu, Nduk.”

Aku menggeleng. “Belum kepikiran Mbah.”

Simbah mengangguk, “Sebenarnya dia enggak suka loh Nduk, kalau ada orang yang panggil dia Gus.”

“Kenapa Mbah, seharusnya dia kan bangga,” tanyaku yang sedikit penasaran.

“Iya, bagi kebanyakan orang memang itu suatu kebanggaan. Tapi dia enggak suka, sebab dari panggilan itu dia harus mengemban beban berat yang harus dia pikul. Dia selalu khawatir jika perilakunya akan membuat buruk nama panggilan itu sendiri, yang nantinya akan merembet ke nama baik keluarganya. Dia juga takut tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada orang lain. Maka dari itu dia selalu menghindar jika di suruh pulang ke pesantren. Selalu ada saja alasannya. Kata dia, lebih enak jadi orang biasa.”

Aku tersenyum geli mendengarkan cerita simbah. Memang perilaku Gus Rasyid dulu sangatlah melenceng dari statusnya. Pasti orang lain tidak akan percaya jika dia keturunan seorang Kyai, jika perilakunya seperti dulu.

Apalagi soal wanita di sekelilingnya, yang tidak akan pernah ada habisnya.

Hm... jika mengingat soal wanita, aku masih yakin, jika hanya satu wanita yang masih bersemayam di hatinya. Terbukti, saat tanpa sengaja aku menjatuhkan selembar foto gadis manis di buku diarihnya, sewaktu aku membersihkan meja belajarnya. Memang aku sudah lancang membaca isinya tanpa pengetahuan dari pemiliknya. Tapi karena rasa penasaranku yang besar mendorongku untuk membuka dan membacanya.

Tak banyak yang tertuliskan di sana. Hanya beberapa lembar yang tertuliskan seperti sebuah surat cinta yang ingin ditujukan kepada seseorang. Yang tak lain Asma, pemilik foto gadis manis yang dia simpan.

Salam Rindu dari Gus RasyidKde žijí příběhy. Začni objevovat