Pandangan

1.3K 96 0
                                    

“Jodoh itu cerminan diri sendiri. Jika seorang pria mengharapkan jodohnya wanita yang baik-baik dan Shalihah, maka sudah sewajarnya dia harus berbenah diri terlebih dahulu. Karena seperti yang sudah dijelaskan dalam surat An-Nur Ayat:26, Yaa ayyuhaal-ladziina aamanuu laa tadkhuluu buyuutan ghaira buyuutikum hattaa tasta'nisuu wa tusallimuu 'alaa ahlihaa dzaalikum khairun lakum la'allakum tadzakkaruun.

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula.”  Maka dari itu kenapa kita dianjurkan memperbaiki diri sendiri dahulu, jika mengharapkan jodoh yang baik untuk kita.”

Aku terus menatap Afan yang tidak berhenti ceramah, semenjak aku duduk bergabung dengan kaum pria. Entah apa maksudnya, yang jelas aku merasa risih dengan tatapan matanya yang sering tertuju kepadaku. Bisa memperjelas, bahwa ceramahnya yang sedari tadi, ditujukan kepadaku. Aku menyadari jika ceramahnya, sedikit banyak menyindirku. Heran saja dengan maksudnya, apa mungkin salah satu wanita di meja seberang sana, wanitanya.

Tapi aku tidak setuju jika dia menggunakan hal seperti tadi, untuk memojokkanku. Di situasi seperti ini, jelas sekali aku tidak salah. Bukankah para wanita yang memang dengan sengaja menahanku barusan. Aku baru bisa pergi saja atas bantuan Edo, yang datang menarikku.

“Sebagai seorang muslim, seharusnya juga bisa menjaga pandangannya. Karena jika tidak bisa menjaga pandangan, hal itu bisa mengarah ke hal maksiat yaitu berupa zina mata. Jadi zina bukan cuma perkara yang dilakukan dengan kemaluan, tapi mata juga bisa zina, yaitu dengan tidak menjaga pandangannya.”

Seperti yang sudah di jelaskan dalam Surat yang sama seperti sebelumnya, Surat An-Nur ayat:30, yang artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’'  Maka dari itu kita harus menjaga pandangan kita dari yang haram.”

Baru saja aku menoleh ke arah para wanita yang sedang tertawa, Afan sudah kembali ceramah. Jelas sekali bukan, dia sengaja menceramahiku. Bukannya sengaja aku melihat para wanita yang menang tidak seharusnya aku lihat, tapi aku merasa heran saja dengan salah satu wanita di sana yang berubah menjadi pendiam. Bukan seperti wanita yang aku kenal sebelumnya.

Entah kenapa sejak pertama kali melihatnya kembali, ada rasa penasaran yang membuatku sendiri tidak tahu apa yang ingin aku ketahui darinya.

“Enggak usah didengerin Land, dia memang gitu orangnya. Di mana saja pun jadi yang mau ceramah. Ngakunya sih, Ustadz milenial.” Edo berbisik di telingaku.

“Tapi yang dia omongin itu memang benar Edo.”

“Iya, aku tahu. Tapi dia enggak bisa lihat situasi dan kondisi. Kamu lihat sendiri kan. Kita lagi reunian dia malah ceramah. Sekalian kalau disuruh buat ngisi kajian, langsung kicep tuh orang.”

Edo ... Edo ... emang ya, dari dulu enggak pernah berubah. Dari sekian banyak teman akrabku di sekolah dulu, hanya dia yang menerimaku dengan terbuka. Yang lain sibuk sendiri, dan hanya Edo lah yang menemaniku mengobrol sedari tadi. Sebenarnya risih juga, berada di tengah-tengah banyaknya orang, tapi hanya segelintir yang mau menerima kedatanganku. Bahkan para teman satu gengku hanya sisa Edo yang masih menganggapku teman. Mereka, para kaum pria memandang rendah ke arahku. Tidak salah juga sih mereka bisa melihatku dengan sebelah mata. Aku datang ke sini dengan bersandal jepit. Jauh berbeda dengan mereka yang penampilannya sempurna.

“Kamu ke mana saja selama delapan tahun terakhir. Aku cari-cari kamu tapi enggak pernah ketemu. Tega ya, kamu sama temen sendiri, pindah sekolah enggak pamitan dulu. Main tinggal pergi aja. Kamu inget, kamu punya utang taruhan sama Gerald dan aku udah bayarin itu buat kamu.”

“Tenang nanti aku ganti. Emang bunganya berapa persen?”

Bugh

Edo memukul lenganku, hingga membuat teman yang lainnya melihat ke arah kami berdua.

“Sorry, ada nyamuk barusan.” Edo tersenyum canggung kepada yang lainnya. Sedangkan aku memijat lenganku yang lumayan terasa sakit, akibat pukulan Edo. 

Emang nyamuk harus ditonjok ya?

“Kamu kira aku rentenir. Sama temen sendiri masih berbunga. Enggak usah ganti, aku ikhlas.”

Ya, terserah Anda tuan Ferguso.

“Ok, terima kasih.”

“Ya elah, kamu gak usaha dulu buat pura-pura ngenolak gitu? Kelihatan sekali kamu doyan ya.”

Ck, ternyata Anda sama saja tuan, memandangku sebelah mata. Entah kenapa penampilan selalu menjadi tolak ukur untuk seseorang memilih berteman. Tapi aku paham maksud Edo yang hanya sekedar bercanda.

**

Semua orang sudah pergi meninggalkan Cafe yang sebelumnya menjadi tempat reuni. Tapi aku masih tetap duduk di salah satu kursi yang langsung berhadapan dengan seorang wanita di luar yang memunggungiku. Dia sedang berdiri seperti menunggu seseorang. Cukup lama aku menunggunya pergi, hingga aku putuskan untuk menghampirinya.

Seperti inilah aku, yang selalu bersikap enggak enakkan dengan orang yang dikenal, terlebih lagi dia wanita. Kasihan jika melihatnya terus-terusan berdiri, apalagi hari sudah mendekati gelap.

Tinggal tiga langkah lagi aku sudah berada di sampingnya, tapi seseorang telah menghampirinya terlebih dahulu. Aku memilih diam di tempat, ingin mendengar percakapan mereka, antara Bella dengan Afan yang banyak ceramah tadi.

Enggak dosa kan, kalau nguping?

“Aku antar ya, Bel. Sekalian silaturahmi sama ayah kamu.”

“Maaf, Afan. Boleh tahu ada kepentingan apa? Karena ayahku sangat protektif menjagaku. Aku tidak pernah membawa teman pria bermain ke rumah” Bella tak sedikit pun melirik Afan, berbeda dengan Afan yang sangat jauh sekali dengan isi ceramahnya barusan. Dia secara terang-terangan memandangi Bella. “Tapi sebelumnya maaf, karena aku harus menolak, aku sudah di jemput oleh saudaraku.”

Ah... iya, aku baru ingat. Mendengar Bella yang menyebutkan saudara, aku jadi teringat sesuatu. Dia saudaranya Ilham, mantannya Asma. Astagfirullah, lagi-lagi soal wanita itu. Ampuni hamba yang masih lalai, tidak bisa menjaga batasan hamba ya Allah. Tak seharusnya aku selalu memikirkan wanita yang tidak halal bagiku.

“Baiklah, lain kali aku akan ke sana bersama orang tuaku?”

Detik itu juga aku melihat Bella langsung menatap Afan. Aku bisa melihat raut wajah terkejutnya. Mengenai perkataan Afan barusan, sepertinya dia ingin memiliki niatan baik yaitu melamar Bella.

Tapi dari cara Bella menatap Afan, seperti tersirat sebuah hal yang ingin diutarakan namun tidak bisa diutarakan. Aku tidak bisa menebak, apa yang dirasakan Bella. Terlalu sulit membaca ekspresinya.

Bersambung ....

Budayakan tinggalkan jejak ya!

Jangan lupa like dan komen

Follow akunku juga ya.

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now