Kenangan tukang antar gas

972 79 0
                                    

_

“Kamu?” Aku dan dia sama-sama terkejut di ambang pintu.

Sejenak aku memperhatikan pakaiannya dari atas sampai bawah. Dengan style baju casual, kaos warna putih yang dipadu-padankan dengan celana jeans yang sedikit robek di lututnya.

Sungguh aku heran dengan manusia yang satu ini. Bisa-bisanya di lingkungan pesantren dia berpakaian seperti itu.

“Bel, kedip dulu,”  katanya memgagetkanku.

Aku langsung mengalihkan pandanganku, astagfirullah! Bisa-bisanya aku hilang kendali.

“Bisa minggir enggak. Berat ini,” katanya lagi membuatku terkesiap dan langsung dibuat bingung olehnya.

Pandanganku langsung tertuju ke gas elpiji tiga kilo gram, ditenteng di kedua tangannya. Astagfirullah! Aku tidak menyadarinya. Langsung saja aku memberi jalan kepadanya untuk membawa gas itu masuk.

“Minta tolong sekalian, Land. Pasangin gasnya ya! Aku takut soalnya.”

“Hem ...”

Tak banyak yang aku katakan kepadanya. Masih canggung rasanya, setelah lebih delapan tahun tak bertemu dan baru bertemu kembali seminggu yang lalu saat acara reuni. Namun tak sempat aku berbicara dengannya, lebih tepatnya aku yang memilih untuk tidak berbicara. Bukan karena sombong, tapi karena aku juga merasa bingung apa yang harus kukatakan padanya, sedangkan dia hanya diam tanpa menyapaku dulu.

Apa iya? Seorang perempuan harus memulai. Terlebih lagi, aku harus memahami batasan sebagai perempuan.

“Ini,” dia menatap uang di tanganku dan diriku secara bergantian. “Ini uang gasnya.”

“Hah?”


Ya ampun Roland, kenapa jadi lemot gini? “Kamu tukang nganterin gasnya, 'kan? Ya udah, Ini uang gasnya, biar aku aja yang bayarin, kebetulan Umi sedang keluar.” Karena tidak ada respon, aku lebih memilih memasukkan uangnya ke tas slempang yang ia kenakan. “Kembaliannya, ambil aja ya! Terima kasih.”

Ceklek!

Aku langsung menutup pintu tanpa menunggu jawabannya. Sungguh melihat wajahnya, membuatku teringat kembali dengan kejadian delapan tahun silam. Sebelum dia pergi tanpa kabar, seperti menghiilang ditelan bumi.

Aku masih ingat, dengan sepupuku yang hampir menemui ajalnya gara-gara Roland. Rupanya Roland belum berubah, penampilannya sudah mewakilkan sekali, perilakunya yang memang tak pernah berubah.

Astagfirullah! Mohon jauhkanlah hamba dari orang seperti dia, ya Allah. Cukup hamba yang dulu pernah gelap mata hingga memujanya mati-matian. Bahkan hamba sudah berulang kali menggadaikan harga diri hamba, hanya untuk bisa memilikinya. Meski hamba sudah dicampakkan berkali-kali.

**

“Ke sanaan lah, mbak. Aku gak kelihatan.”

“Ini aku juga kesusahan yang mau liat.”

“Aku juga gak jelas ini.”

“Wah ... Gus Rasyid ganteng sekali.”

“Iya, ya mbak. Calon suami idaman.”

“Udah punya pacar belum ya?”

Aku tak menghiraukan penghuni sekamar yang sudah heboh sedari tadi, karena melihat Gus Rasyid yang keluar dari pintu dapur. Mereka berdiri di atas meja, yang mereka taruh di bawah jendela yang letaknya lumayan tinggi. Meski harus berjinjit-jinjit, namun tidak mematahkan semangat mereka untuk bisa melihat wajah Gus Rasyid.

Tapi, berbeda denganku, rasa penasaranku sudah menguap semalam. Entahlah, aku tidak memiliki minat lagi untuk mengetahui wajahnya.

“Mana ada kamus pacaran dalam keluarga pesantren, Aida. Palingan sudah ta’aruf. Soalnya aku pernah denger Gus Rasyid mau dijodohkan.”

Aku menghentikan kegiatan yang memasukkan perlengkapanku ke dalam tas. Mendengar Gus Rasyid yang sudah dijodohkan membuatku penasaran, siapakah gadis yang akan menikah dengannya? Gadis bernasib beruntung mana, bisa menjadi keluarga pesantren.

Meski dirinya pernah berharap bisa mendapatkan kehormatan menjadi bagian dari keluarga pesantren. Namun rasa takut akan tanggung jawab yang akan dipikul setelahnya, membuatnya harus bisa berpikir beribu kali untuk memimpikan hal itu.

Karena bagaimanapun, tanggung jawabnya sangatlah besar dan dirinya takut akan lalai dengan tanggung jawab yang akan diembannya. Tapi bukan berarti dirinya pernah mengharapkan bisa bersanding dengan Gus Rasyid juga.

“Eh, dia lihat ke sini.”

Aku tertawa melihat mereka yang sudah berhamburan turun dari atas meja. Setelahnya mereka tertawa dengan kekonyolan yang telah mereka lakukan.

“Mbak jadi pulang hari ini. Baru nginep sehari aja, kok udah mau pulang.”

“Mbak Bella gak kangen ya sama kita?”

Aku merangkul mereka bergantian, Saat sampai di Aida gadis yang baru menginjak sekolah MA, aku lebih lama memeluknya untuk menenangkan tangisannya. Aku rasa dia sedikit lebay, karena teman yang lainnya tak ada yang menangis seperti dia.

“Udah jangan nangis, kalau ada waktu mbak pasti main ke sini lagi.”

“Beneran ya mbak, nanti kalau ke sini lagi, jangan lupa bawa novelnya yang semalam. Soalnya aku belum selesai baca. Pas lagi seru-serunya, mbak malah pulang,” katanya, sambil mengeratkan pelukannya.

Astagfirullah! Ternyata dia kepikiran sama novel yang belum selesai dia baca. 

Waduh, bisa jadi aku dapat hukuman nanti karena sudah meracuni otak mereka dengan novel yang tak sengaja aku bawa. Meski novel itu bertemakan tentang Islami, namun tetap saja tidak dianjurkan untuk dibaca para santri. Apalagi mengenai problematika kehidupan rumah tangga, untuk ukuran mereka jelas masih di bawah umur. 

Mereka juga tidak akan paham dengan lika-liku dalam berumah tangga, yang kenyataannya tak semanis novel yang aku bawa.

Aku berbicara seolah aku juga paham, padahal aku belum mengalami dan terjun langsung ke dalamnya. Maaf khilaf.

 

Bersambung....

Budayakan tinggalkan jejak ya!

Jangan lupa like dan komen

Follow akunku juga ya.

 

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now