Kamar 212

893 67 2
                                    


Penyesalan memang selalu menemani di akhir cerita. Kenapa Gus Rasyid dulu pernah, meninggalkan bekas luka yang membuat istrinya trauma, hingga membuatnya ragu ingin menjalin hubungan yang serius kembali. Apa dengan pernikahan tidak cukup menjadi bukti, jika dirinya akan bertanggung jawab, bukan hanya soal kebutuhan ekonomi tapi juga soal hati.

Apa masih tidak cukup? Usahaku selama ini.

Sore ini, Gus Rasyid sudah sampai di daerah Malang. Tujuannya kali ini ke Surabaya, di mana istrinya berada. Beruntung dengan bantuan Edo, dia bisa melacak keberadaan istrinya, lewat e-mail yang dia hafal. Tanpa menunda-nunda waktu dirinya langsung berangkat, rasa kantuk yang menyerangnya tadi pagi langsung hilang seketika. Dia takut istrinya akan pergi lebih jauh lagi.

Dia ikuti petunjuk arah yang tergambar di layar ponselnya, hingga menuju sebuah pelataran hotel yang tidak cukup mewah. Sedikit heran, dengan selera istrinya, kenapa hotel yang di tempati tak cukup mewah yang sesuai dengan kemampuannya?

Setelah melalui tempat resepsionis, dia langsung menuju kamar hotel yang sudah di arahkan oleh petugas. Beruntung, dia termasuk orang yang memikirkan segala hal dengan teliti, meski dalam keadaan mendesak sekalipun. Berkat buku merah dan hijau yang dibawanya, dia dengan mudah menemui istrinya.

Cukup lama dia berdiri di depan pintu bertuliskan nomor “212”. Setelah mengatur nafas dan mengumpulkan keberanian dia mulai mengetuk pintu. Namun belum sampai genggaman tangannya menyentuh pintu, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Kemudian menampilkan sosok yang dia rindui, berdiri mematung menatapnya. Tangan yang semula melayang di udara, langsung terulur, memeluk erat tubuh sang istri.

“Gus!” Bella berusaha menolak tubuh Gus Rasyid, ingin terlepas dari tubuh yang membuatnya sulit bernafas. Hingga detik ini, dia tak percaya jika pria yang sedang memeluknya adalah suaminya, ayah dari anak yang dikandung oleh Nada. Jika teringat kembali dengan kejadian tadi pagi, dia menjadi jijik harus bersentuhan dengan Gus Rasyid.

“Lepas Gus!” Entah sudah yang ke berapa kali dia memerintah, namun Gus Rasyid tetap kukuh dengan pendiriannya.

“Bentar saja Bel. Aku masih kangen sama kamu.” Gus Rasyid semakin mendekap erat tubuh Bella. Menghirup dalam-dalam aroma parfum yang sudah beberapa hari memenuhi kamarnya. Hingga membuatnya candu dengan aroma manis yang selalu menyapa indra penciumannya.

“Percayalah sayang, apa yang kamu dengar tidak sepenuhnya benar. Kamu salah paham. Bukan aku yang menghamili Nada. Dia hamil anak pacarnya bukan anakku. Aku hanya ingin, kamulah yang menjadi satu-satunya ibu bagi anak-anakku. Kumohon jangan pernah tinggalkan aku.” Gus Rasyid menjelaskan seolah dia tahu apa yang sedang istrinya rasakan.

Suara Gus Rasyid sedikit terdengar lemah dari biasanya, namun Bella tak menyadari hal itu. Bella hanya sibuk menangis, yang entah kenapa dia tiba-tiba dilanda rasa sesak yang semakin mengimpit hatinya. Dia tidak tahu rasa apa itu, kenapa rasa yang kini lebih parah sakitnya dibanding saat ditinggal Ustadz Ali menikah dulu?

Dia terus menampik jika rasa cinta mulai hadir kembali di hatinya, yang dia yakini dirinya hanya merasakan sakitnya seorang istri yang dikhianati oleh suaminya. Bukan orang yang sakit hati karena dikhianati oleh cintanya.

Bella mulai merasakan rasa berat yang menindih tubuhnya. “Gus,” panggilnya lirih dan berusaha melepaskan pelukan dari Gus Rasyid. Bersamaan dengan itu juga, tubuh Gus Rasyid ambruk bersama tubuh Bella yang hendak menahannya.

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now