Hati yang Berduka

816 57 5
                                    

Bella Putri Elena pov

Berulang kali aku membuka aplikasi whatsapp, mengecek pesanku yang belum terbaca dari kemarin sore. 

Mungkin, ini kali pertamanya setelah aku menikah, aku berharap dia akan membalas ataupun sekedar membaca pesan yang aku kirim. Semalaman aku menunggunya, menanti kabarnya yang entah di mana.

Aku semakin dibuat dilema, mengetahui kapan terakhir dia online. Selasa, 04.37. Terhitung sudah hampir empat hari dia tidak pulang ke rumah.

Terakhir kali aku melihatnya, saat tanpa sengaja memergokinya membopong tubuh Nada. Namun waktu itu, aku tak langsung menghampirinya, aku lebih memilih menunggunya yang mencari keberadaanku.

Rupanya aku yang terlalu percaya diri, pikirku dia akan memperlakukanku selayaknya orang yang dia butuhkan.

Nyatanya, aku yang terlalu berharap.

Miris, ya. Aku yang selalu meragukan ucapannya, akhirnya aku yang mengharapkannya, namun aku harus kembali menelan pil pahitnya sebuah pengharapan. Sampai sekarang, dia kembali tidak peduli dengan apa yang terjadi.

Mungkinkah dia sudah pergi dengan cintanya?

Itu bisa saja terjadi dan akhirnya, keraguanku menjadi kenyataan. Aku dicampakkan kembali.

Tetapi aku bisa apa?

Aku tidak tega melihat wanita yang sedang duduk termenung di atas karpet.

“Umi, belum tidur?” tanyaku lalu duduk di samping Umi Khairiyah--mertuaku.

“Belum ngantuk, Nduk.” Umi tersenyum sedikit dipaksakan. “Ibu sama Ayah kamu sudah pulang, Nduk.”

Aku mengangguk. “Sudah, Umi. Mereka menitipkan salam untuk, Umi. Tadi kata mereka, sudah cari Umi, tapi Umi tidak ada.”

“Iya, Umi barusan keluar dari kamar Mbah, Nduk,” kata Umi dengan Nada bergetar.

Aku langsung menggenggam tangannya, tersenyum guna menguatkan hatinya yang sedang berduka. Aku tahu, ini berat untuknya. Harus kehilangan seseorang yang sangat disayangi.

Simbah menghembuskan nafas terakhir tiga hari yang lalu, karena serangan jantung yang menyebabkan beliau tak sadarkan diri terlebih dahulu selama sehari.

Ke mana hati nuraninya? Kenapa selama itu pula dia tidak pernah menanyakan kabar Simbah? Sedari jauh-jauh hari dia sudah mengerti jika kesehatan Simbah mulai menurun. Lalu hal penting apakah, yang lebih penting dari Simbah, hingga dia mengabaikan.

Umi tersenyum sambil mengangguk, meski air matanya tetap menetes. Tangannya ikut menggenggam tanganku.

Fokusku langsung teralihkan, saat mendengar suara mobil yang sudah tidak asing di pendengaran. Aku segera menuju pintu lalu membukakan pintu untuknya, yang baru pulang di jam sepuluh malam.

Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu pulang juga.

Wajah cemasku yang sebelumnya menghantui hatiku beberapa hari karena tak mendengar kabarnya langsung berubah kecewa, saat mendapati wanita berbaju seksi di sampingnya. Hatiku mencelos dari tempatnya dan tanpa tahu malu, air mata ini juga ikut menetes.

Salam Rindu dari Gus RasyidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang