Ijab Kobul

1.1K 80 0
                                    

Tidak terasa waktu seminggu berlalu dengan cepat, seperti baru kemarin aku menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang saat ini akan menjadi saksi bisu, aku yang melepas masa lajangku.

Selama seminggu tidak ada komunikasi sama sekali dengannya, fitting baju pernikahan pun kami berangkat sendiri-diri. Sampai detik ini pun, aku belum melihatnya kembali.

“Saya terima nikahnya Bella Putri Alena binti Ahmad Winarno dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat dua puluh tiga gram dibayar tunai.”

“SAH.” semua orang yang menyaksikan serempak berbicara dengan keras.

Alhamdulillah dengan sekali tarikan nafas semua berjalan dengan lancar. Berulang kali aku menghembuskan nafas secara kasar guna membuang rasa gugup yang menyelimuti hati dari tadi.

Aku terkejut tiba-tiba Umi menepuk punggungku. “Le, sana jemput istrimu," ucap Umi yang membuat alisku mengerut seketika.

“Kok aku, Umi?” tanyaku padanya.

“Lah, terus Umi harus suruh siapa? Masak iya, Umi mau suruh Kang Sofyan gitu?”

Orang yang namanya merasa terpanggil langsung terkesiap. Jika boleh, pasti aku sudah menyuruhnya.

Nasib baik, di akhir kebingunganku ada Ilham yang memberiku isyarat lewat matanya, aku pun langsung mengikutinya berjalan. Hingga sampai di sebuah pintu dia berhenti, aku juga ikut berhenti.

Dia menatapku cukup lama. “Jangan pernah sia-siakan dia lagi, atau kamu akan berurusan denganku. Aku tidak akan pernah memandang siapa dirimu sebenarnya, jika kamu berani menyakitinya lagi, aku tidak akan diam.”

Sungguh aku tidak menyangka Ilham akan berbicara begitu kepadaku. Beruntung suasana di sini lagi sepi, jadi tidak perlu khawatir ada orang lain yang tahu.

“Ham, aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Kamu tenang saja, aku tidak akan menyakitinya lagi. Tak ada alasan untuk aku terus-terusan menyakitinya.”

Seperti air yang mengalir, aku berkata tanpa aku sadari. Semua dengan mudahnya keluar dari bibirku.

“Baguslah kalau begitu.” Dia sudah ingin beranjak namun kembali ke posisi yang sebelumnya. “Dan satu lagi, jangan pernah memandang terlalu lama istriku, apalagi berniatan untuk menggodanya.”

Aku tercengang mendengar perkataan terakhirnya. Ternyata dia, bukan hanya khawatir sepupunya aku lukai perasaannya, namun dia juga takut kehilangan istrinya.

“Tapi maaf, kalau nanti malah dia yang tergoda sendiri. Aku tidak bertanggung jawab akan hal itu,” kataku sekedar bercanda.

“Roland, eh, maaf. Gus maksudnya." Dia tersenyum menyeringai. "Gus lupa ya, kalau dia yang tergila-gila kepadaku," lanjutnya dan langsung pergi.

Tepat sasaran, bagaimana aku bisa melupakan hal itu dan akhirnya aku yang menanggung malu. Aku tak akan mempermasalahkan lagi hal yang sudah berlalu, bagaimanapun kita sudah sama ada yang memiliki.

Saat kubuka pintu kamar Bella, wanita yang telah sah menjadi istriku. Pemandangan pertama yang aku lihat, dia sedang duduk di atas ranjang. Menatapku seolah tidak menginginkan kehadiranku. Aku jadi khawatir, jika sedikit banyak dia mendengar percakapanku dengan Ilham. Bukan karena aku merasa tidak enak, tapi aku hanya tidak ingin memberi kesan buruk yang setelahnya akan menyulitkanku.

Aku mengulurkan tangan saat sampai di depannya, dia pun langsung mencium tanganku. Bersamaan saat dia menunduk, aku sentuh puncak kepalanya, berdoa dalam hati memohon di beri keharmonisan dalam kehidupan rumah tanggaku nanti dan bisa saling menjaga satu sama lain.

Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.

Lalu aku kecup singkat keningnya. Tidak ada perasaan apa pun saat aku berada di dekatnya. Tidak ada rasa grogi, tapi malah aku merasa canggung karena sudah lama tidak berinteraksi dengan wanita. Apalagi dengannya, aku yang telah membuat kesan buruk padanya.

“Ayo, kita sudah ditunggu di depan.”

Dia tak menjawab dan langsung bergerak sambil menenteng baju kebayanya yang panjang di bagian bawah. Tetapi, baru dua langkah tubuhnya oleng karena keserimpet bajunya. Dengan sigap aku menangkap tubuhnya, hingga dia berada dalam pelukanku. 

Dia menatapku cukup lama. Aku bisa melihat netra hitam miliknya dengan jarak yang begitu dekat. Semakin lama, mulai ada gelenyar aneh yang menyusup ke dalam tubuhku. Detak jantungku mulai tak berirama.

“Gus.”

Panggilannya langsung menyadarkanku dari lamunan. Dia sudah membuang muka dan langsung menunduk kala aku melepaskan pelukanku.

“Maaf, aku sudah lancang,” kataku karena tidak enak telah menyentuhnya tanpa izin. Walaupun sebenarnya sudah sah-sah saja aku menyentuhnya.

“Tidak perlu Gus, aku yang kurang hati-hati barusan.”

“Ya udah, sini aku bantu pegang.”

“Apanya?” Dia langsung melotot melihatku.

Aku tidak mengira reaksinya bisa sampai seperti itu, padahal niatku hanya ingin membantunya.

“Ya, sini aku yang pegang!” kataku.

“Apanya yang mau dipegang, Gus?”

“Itu yang kamu pegang.”

Dengan gerakan cepat dia memberikan ekor bajunya ke tanganku, lalu tanpa mengajakku dia berjalan terlebih dahulu. Namun secara otomatis aku langsung mengikutinya, jika tidak dia bisa terjatuh lagi karena ekor bajunya yang aku tahan.

Dasar ya, betina. Tadi bawaannya sensi, kalau udah tahu niatannya tulus langsung dimanfaatin. Tapi aku harus sabar, lagi pula dia sudah menjadi istriku. Sudah menjadi tanggung jawabku, bukan?

Tapi ekspresi kagetnya lucu juga, aku tidak bisa menahan senyumku jika mengingat wajahnya yang bersemu merah.

 Bersambung ....


Krisar yang membangun, author butuhkan.

Jika ada kesalahan boleh diingatkan.

Terima kasih atas waktunya, sudah mau membaca karya author receh ini.

Maaf jika ceritanya kurang nyambung, harap dimaklumi, author masih pemula.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya!

Tekan bintang dan komen

Follow akunku ya!

Terima kasih

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now