Tamu Istimewa yang Cantik

882 68 1
                                    

Semenjak aku menikah, perubahan-perubahan kecil mulai aku rasakan. Salah satunya seperti mendapatkan pelayan pribadi, yang siap melayani dua puluh empat jam. Seperti di pagi ini,  dia dengan telaten mengisi piring kosongku dengan nasi dan lauk pauk.

“Gus, mau makan sama apa?” tanyanya dengan nada lembut.

Aku memperhatikan menu makanan yang sudah tertata rapi di meja. Kebetulan ada menu kesukaanku, “Sama tumis pare saja.”

Seperti sudah mengetahui apa yang seharusnya aku makan, dia menambahkan ayam goreng ke piringku dan dengan senang hati, aku menerimanya. Kapan lagi bukan? Aku bisa merasakan dilayani dengan pelayanan spesial.

“Le, kamu jadi mau pulang sekarang, ke rumah Simbah?”

Perkataan Umi langsung membuat Bella menatapku. Sebagai seorang istri, pasti dia terkejut dengan rencana yang aku buat, tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Seharusnya aku memang harus mendiskusikan hal ini terlebih dahulu. 

Sayangnya, aku baru menyadarinya.

“Iya, Umi. Kalau di sana jarak ke toko kan lebih dekat. Kasihan juga Mbah tinggal sendiri.”

“Sering-sering ya, kalian main ke sini.”

“Enggeh, Umi,” jawab kami berdua kompak.

“Sepertinya perkembangan toko, sudah cukup bagus ya, Gus?” Mas Faiz tersenyum kepadaku.

“Alhamdulillah, Mas. Akhir-akhir ini, penjualannya semakin meningkat,” jawabku.

“Salah satu mimpi kamu sudah terwujudkan ya, Syid? Mbak enggak sangka, kamu bisa tepati janji secepat ini.”

Ucapan mbak Rahma membuatku tersadar, tentang rasa kecewaku selama hari-hari terakhir. Di mulai semenjak acara lamaran yang tidak aku ketahui, kenapa secara mendadak? Apalagi, tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu denganku. Setelahnya berlanjut dengan semua persiapan pernikahan, yang sudah mereka atur. Dari masalah tenda, dekorasi, undangan, serta katering yang mereka persiapkan dari jauh-jauh hari.

Aku ingat, hanya sebatas janji, “Jika Rasyid sudah punya usaha, Abi sama Umi boleh nikahkan Rasyid.” Janji yang tidak ada kurun waktunya, jadi tidak salah jika mereka menikahkanku sewaktu-waktu. Justru, letak kesalahannya ada di aku. Aku yang kurang hati-hati, dalam membuat janji.

Saat selesai sarapan bersama keluarga besar, aku langsung menemani Bella yang mulai membereskan barang-barangnya dan juga termasuk milikku. Tanpa banyak tanya, dia mengerjakan semuanya sendiri. Membuatku merasa khawatir dengan perasaannya sekarang, akankah dia menerima keputusanku? Yang tanpa meminta persetujuannya.

“Enggak apa-apa, kan? Kita tinggal di rumah mbah? Sebelumnya aku juga sudah meminta izin kepada Ibu, ingin membawamu tinggal di sana?”

Dia melihatku sebentar, sebelum melanjutkan kegiatannya yang sedang memasukkan baju, ke dalam koper.

“Memang apa yang harus di khawatirkan lagi, Gus. Bukannya Gus sebagai suami, kepala keluarga, kan? Tentunya Gus sudah tahu bahkan paham, mana yang terbaik.”

Tidak ada yang salah dari jawabannya, tapi aku malah merasa tertampar dengan kata terakhirnya. Antara terbaik untuk kita berdua atau terbaik menurutku saja, sedangkan bagi Bella tidak. Aku merasa egois tanpa melibatkannya dalam keputusan ini, yang mungkin terasa besar bagi hidupnya.

“Apa kamu punya rencana lain, selain rencanaku? Mungkin kamu ingin, kita hidup mandiri saja? Jika itu keinginanmu, aku bisa membeli sepetak rumah yang sederhana. Tapi maaf, jika itu masih jauh dengan kehidupanmu yang sebelumnya.”

Dia terdiam cukup lama. “Sudahlah Gus. Tak perlu merasa tak enak. Lagi pula, kasihan mbah jika harus tinggal sendiri,” jawabnya, setelah sekian lama berpikir.

Baiklah, aku anggap dia terima keputusanku dengan senang hati. Aku memang lebih terbiasa di sana, dari pada di pesantren milik Abi. Apalagi tentang kekhawatiranku antara Bella dengan mas Ali, membuatku tak ingin berlama-lama berada di sini. Aku takut, jika hal itu diketahui mbak Rahma, hingga menimbulkan kesalahpahaman.

Selama perjalanan, suasana mobil diselimuti keheningan. Aku dan dia, sama-sama diam. Entah apa yang harus aku katakan dengannya, guna memecahkan suasana keheningan yang telah terjadi.

“Gus.”

Aku menoleh, “Ya, kenapa?”

“Bisa mampir sebentar ke minimarket.”

“Kamu butuh sesuatu?”

“Aku ingin membelikan oleh-oleh untuk mbah. Rasanya kurang nyaman, kalau ke sana aku enggak bawa apa-apa.”

Perkataannya terasa kurang pas di hatiku, seakan itu menjadi bebannya. Padahal itu tidak akan menjadi tuntutan dari mbahku, yang harus dia penuhi. Aku tidak suka jika keluargaku menjadi beban orang lain.

“Enggak perlu bawa apa-apa, Bel. Kedatangan tamu istimewa kayak kamu, sudah pasti mbah senang.”

“Istimewa apanya?” tanyanya, dengan nada yang sedikit meremehkan.

Mbah udah minta oleh-oleh sama aku. Aku udah bawakan, sesuai permintaannya. Cucu mantu yang cantik.”

“Aku enggak cantik, Gus,” elaknya.

“Kamu cewek, kan?”

“Iyalah, Gus,” jawabnya antusias.

Dia menatapku, menungguku melanjutkan perkataanku.

“Benar kan, kataku. Yang namanya cewek itu tetap cantik, enggak bakalan bisa berubah jadi ganteng.”

Dia membuang muka, “Gus, mah!” protesnya.

“Kamu memang cantik, kok.”

“Iya, iya terserah, Gus juga ganteng.”

“Terima kasih, sayang?”

Detik itu juga dia menatapku terkejut dan langsung membuang muka, tidak berani menatapku lagi. Aku mengacak kerudungnya karena gemas.

Dasar, malu-malu kucing.

Bersambung....

Assalammualaikum...

Apa kabar semuanya?

Semoga sehat selalu, ya.

Jangan lupa, kasih ⭐, komentar, dan juga follow akunku ya!

Terima kasih semuanya....

 

 

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now