Hilangnya Janda Bolong

905 67 1
                                    

Sore yang cerah, secerah senyumku kala memanjakan hal yang berharga di depanku. Mereka yang membuat rumahku lebih berwarna dan hidup. Seperti mood booster, kala melihat senyum cantik dari pancaran warna segarnya. Penat setelah seharian berkutat dengan penghuni toko, langsung lenyap saat melihatnya.

Sungguh nikmat mana lagi yang ingin aku dustakan.

Apalagi kesayanganku, eh... tunggu!

Aku membulatkan mata melihat kesayanganku tidak ada di tempatnya. Langsung saja, aku berlari masuk mencari keberadaan nenekku.

Mbah Uti... Mbah... Mbah....

Bugh!

“Aduh! Sakit Mbah,” aku mengusap punggungku yang dipukul dengan tongkatnya.

“Baru pulang kerja, mbok yo lepas dulu sepatunya. Masuk rumah itu, ngucapin salam dulu, bukan teriak-teriak kayak orang kemalingan aja.”

“Aku emang kemalingan Mbah, Janda bolongku hilang!"

Simbah yang sebelumnya hendak berjalan meninggalkanku langsung berbalik dan menatapku tajam.

Cah gemblung ... Jandanya siapa kamu pelihara? Gak ada perawan lagi apa? Kok malah pelihara janda.” Simbah menjewer telingaku sambil marah-marah, tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan.

“Bukan janda orang Mbah, tapi janda bolong Monstera Obliqua.”

Simbah tidak melepaskan jewerannya, malah semakin menarik kencang telingaku. Aku acungi jempol untuk kekuatannya yang melebihi orang lain seumurnya, meski usianya sudah menginjak 80 tahun, tapi kekuatannya masih bisa setara dengan yang masih berumur 50an.

Opo maneh iki? Monster apa? Mbahmu ini mau dikasih makan ke monster sama kamu.”

Astagfirullah!

Harus memiliki ekstra kesabaran jika menghadapi orang yang sudah berumur. Simbah baru mau melepaskan jewerannya setelah berulang kali aku memohon.

“Dengarkan aku dulu Mbah, Mbah ingat enggak? Sama bungaku di teras yang daunnya bolong-bolong.”

Simbah mengangguk.

"Lah ... itu namanya janda bolong,” lanjut aku.

“Oalah, jadi janda bolong itu bunga, tak kirain ...” Simbah tertawa membuatku ikut tertawa sedikit lega, karena sudah hampir menemui titik terang dari keberadaan kesayanganku.

“Iya itu Mbah, bunganya hilang,” kataku berbicara dengan nada miris.

“Kok bisa, coba cari lagi. Siapa tahu ke selip-selip.”

“Udah Mbah, sudah aku cari ke mana-mana, tapi enggak ada.”

“Ya, mbah juga enggak tahu itu.”

Aku mengusap kasar rambutku melihat Simbah yang mau meninggalkanku. 

“Eh, iya Le, Mbah baru ingat.” Senyumku langsung merekah. “Tadi diminta sama Pak Dhe Sami’an.”

Senyumku luruh seketika bersamaan dengan batu besar yang jatuh tepat di kepalaku, rasanya mau pecah sekarang juga.

Oh ... bungaku ... janda bolongku. “Kok dikasih sama Mbah?”

“Lagian cuma bunga,” katanya tanpa merasa bersalah, tanpa dia tahu bahwa ada hati yang sudah retak tak berupa lagi.

Astagfirullah! Mbah ... Mbah ... itu bukan sekedar bunga, tapi itu juga barang berharga. Namun sekarang aku harus rela, kesayanganku tinggal bersama orang lain.

Aku berjalan lesu menuju ranjang di kamarku. Aku putuskan hari ini adalah hari yang banyak menguras otakku untuk berpikir. Berusaha untuk mengikhlaskan, namun tetap saja masih sulit untuk merelakan. Apalagi untuk bunga janda bolong yang jenis Monstera Obliqua, yang selembar daunnya saja seharga belasan juta.

Aku harus ikhlas, jandaku bersama Pak Dhe Sami’an--kakak kandung ibuku.

**

Setelah mandi, tubuhku sudah terasa segar kembali namun otak tetap sama, masih memikirkan kesayanganku yang sudah pindah rumah. Aku terduduk lesu di ranjang sambil mengetikkan pesan kepada seseorang.

Tolong jaga baik-baik, jangan sampai layu.

Tak butuh waktu lama pesanku sudah di balas oleh sang Empu.

Siap, mas. Janda memang udah layu, mas.
Eh, iya. Ayah senang sekali dapat bunga dari mas.
Salam dari ayah, “Terima kasih”.

Aku tidak membalas lagi pesan dari Dian sepupuku, anaknya Pak Dhe Sami’an. Nyesek rasanya, jika masih bertanya tentang kesayanganku. Yang ada, aku bakalan susah untuk ikhlas melepaskannya.

Aku meletakkan HP di atas nakas, berniat untuk lanjut tidur. Namun urung ketika melihat selembar kertas warna merah. Aku tersenyum jika masih mengingatnya.

Saat aku menghampiri Mbak Rahma dengan suaminya di teras samping, sekelebat aku melihat orang yang mirip dengannya. Aku tak menyangka jika itu memang benar dia. 

Ternyata selama ini, dia menjadi santri di pondok pesantren milik Abi. Dan kejadian dua minggu yang lalu masih aku ingat jelas. Saat dia memberiku selembar uang merah, yang dia berikan untuk membayar gas yang aku bawa.

Astaga! Bisa-bisanya dia mengira aku tukang antar gas elpiji. Emang ada ya, tukang gas yang penampilannya modis kayak aku?

Hahaha ... Sungguh narsis sekali Anda, Roland.

Ternyata derajat Rasyid Aroland sudah jatuh di mata Bella.

“Halo, Assalamualaikum Umi.”

"Waalaikumsalam Le. Kamu belum tidur 'kan Le?"

“Iya Umi, ada apa?”

"Le kalau bisa, besok sepulang dari toko langsung pulang ke Pondok, ya! Soalnya Umi mau membicarakan soal pertunangan kamu."

“Kenapa secepat ini Umi. Bukankah dari awal sudah sepakat, jika masih setahun lagi dan ini masih baru empat bulan, Umi."

"Niat baik itu nggak boleh ditunda-tunda, Le. Lebih cepat kan lebih baik. Umi tunggu di rumah, ya!"

Panggilan pun terputus, bersamaan dengan embusan nafas pasrahku. Sudah keputusan final dari sang Ratu dan tak mungkin bisa lagi aku menawarnya. Langkah yang sulit harus aku ambil setelah ini.

Pandanganku kembali tertuju ke selembar uang warna merah di tanganku. Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadanya, namun keberanianku belum cukup untuk mengutarakannya. Mengingat apa yang telah aku perbuat kepadanya dulu, sungguh tidaklah pantas dianggap manusiawi. Semoga saja dia telah memaafkan kesalahan-kesalahan yang telah aku perbuat.

Dari caranya dia memandang sudah terlihat jelas, rasa tidak suka bertemu denganku. Ya, aku akui, aku pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Setelah apa yang telah aku perbuat kepada saudaranya. Dia masih mau berbicara denganku saja, itu sudah syukur buatku.

Bersambung....

Budayakan tinggalkan jejak ya!
Jangan lupa like dan komen
Follow akunku juga ya.
 

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now