LM - Bagian 16

Mulai dari awal
                                    

Setelah mematikan layar ponselnya, ia bergabung dengan Daniel yang tengah bermain ponsel sambil mengunakan earphone di telinganya. Sepertinya laki-laki itu tengah mendengar musik atau mungkin menonton film.

Saat Nathan sudah mendapat posisi nyaman, Daniel langsung melepas earphone-nya. Tatapannya fokus pada Nathan yang tak bergeming.

"Nath?" Nathan berdehem singkat. "Kita gak bikin markas?" Pertanyaan Daniel membuat tubuh Nathan menegak. Ia menatap Daniel lama, kemudian terkekeh. Daniel jadi bingung. Apanya yang lucu?

"Markas? Buat apa?" Bodoh! Nathan bodoh. Daniel mengulang kata-kata itu dalam pikirannya. Hal seperti itu masih saja ditanya? Tak masuk akal.

"Ya, buat tempat kita ngebahas masalah ini. Gua rasa misi kita ada perkembangan, jadi kayaknya kita perlu markas biar lebih leluasa." Alis Nathan menyatu. Ia mengusap-usap dagunya, lalu terkekeh pelan. Fix, Nathan sudah gila! Sedari tadi hanya terkekeh. "Misi ini berkembang semenjak adanya Vena 'kan?"

Daniel tampak memalingkan wajahnya. Ya, ia akui ucapan Nathan memang benar, tapi bukan berarti ... ah, lupakanlah!

"Hm." Ia berdehem singkat. Gengsi untuk mengakui kalau keberadaan Vena sebenarnya dibutuhkan.

Nathan tertawa pelan. "Gua yakin lo lagi nonton. Nonton apa sih?" Daniel terkekeh. Isi pikirannya mudah dibaca ternyata.

"Gua nonton the gifted. Mereka 'kan kayak punya markas rahasia gituloh. Ya, gimana ya? Au ah! Pokoknya kita harus punya markas deh." Kini Nathan mengangguk. Sudah ia duga. Tidak mungkin pemikiran membuat markas itu tercetus sendiri dari otak Daniel. Pasti ada yang ia lihat, makanya ide itu muncul.

Daniel bisa dibilang tak mampu menciptakan idenya sendiri. Ia lebih tertarik mencoba sesuatu yang ada atau bisa dibilang menjiplak(?)

"Jadi, gimana? Mau nggak?"

"It-"

Ceklek.

Pintu mereka terbuka lebar. Daniel langsung mendelik tak suka, sementara Nathan tersenyum hangat. Gadis ini penuh kejutan yang menarik.

Setelah pintu ditutup, Vena ikut duduk bersama mereka. Tepatnya di hadapan Daniel. Tatapan tak suka masih terus mengudara dari kedua bola mata laki-laki berbaju merah tersebut.

"Kenapa ngajak dia?" tanya Daniel tak terima. Padahal tadi ia mengaku kalau keberadaan Vena cukup membantu loh.

Nathan terkekeh tak menanggapi. "Sekarang apalagi?" tanya Nathan pada Vena. Gadis itu langsung paham. Ia berdehem singkat sebelum angkat suara. "Obat bius."

Nathan tertawa, sementara Daniel mengeryit. Oh, ayolah! Ia yang tak paham atau pembicaraan mereka yang sulit dipahami? Otaknya langsung mumet.

"Lo kasih obat bius sama penjaganya?" Vena mengangguk. Oh ... kini Daniel mengerti. Tadi Nathan bertanya tentang, bagaimana Vena bisa masuk ke sini lagi.

Tawa Nathan kian mereda. Kini keadaan berubah hening. Nathan menatap Daniel dan Vena secara bergantian. "Nah, tadi Daniel bicara soal markas." Ia menggantungkan ucapannya sambil menatap Daniel.

"Kita bakal pindah ke markas biar Vena gak capek bolak-balik ke sini. Kasihan." Daniel berdecih. Kasihan? Manusia seperti Vena tampaknya tak perlu dikasihani.

Second Chance: Last Mission (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang