Sembilan Belas Detik

Start from the beginning
                                    

“Aku tidak bisa mengorbankan perasaan istriku, Nad. Aku mohon, kamu bisa mengerti. Aku juga tidak mungkin mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain.”

Dengan gerakan cepat Nada berdiri. “Ok ... fine!” teriaknya.

“Aku memang nggak ada artinya bagi kalian para pria. Aku memang pantas selalu kalian sakiti," katanya sambil menunjuk dadanya dengan keras.

Kemudian Nada berlari dengan kencang mengarah ke jalan raya yang kondisinya sedang ramai dan dia berhenti tepat di tengah-tengah. Gus Rasyid yang mengejar langsung menarik dengan kuat tangan Nada.

Suara decitan bersama klakson mobil terdengar silih berganti, semakin menambah suasana tegang di siang ini.

Gus Rasyid mencengkeram dengan kuat lengan Nada. Membawanya menjauh dari keramaian suasana jalanan. Perbuatan keduanya sedari tadi menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang. Tak jarang ada beberapa orang yang sudah mencaci maki perbuatan mereka yang mengganggu konsentrasi para pengendara.

“Mau kamu apa!” bentak gus Rasyid sambil menghempaskan dengan kasar lengan Nada yang sebelumnya dia cengkeram.

“Mas nikahi aku, sampai aku melahirkan saja. Setelah itu Mas bisa ceraikan aku. Itu saja, Mas, tidak lebih.”

“Kamu pikir pernikahan itu main-main. Jangan gila kamu.”

“Kalau gitu, jadikan aku istri kedua Mas, selamanya.”

“Tidak bisa, Nada.”

Nada mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu mengarahkan sebuah pisau tepat di pergelangan tangannya.

Gus Rasyid membulatkan mata dan mendekati Nada, hendak merampas pisau dalam genggamannya. Namun, Nada malah berteriak, “Jangan Mendekat!”

“Nada, tenanglah, jangan berbuat nekat seperti ini,” rayu Gus Rasyid.

Namun Nada tak mendengarkan, perlahan tangannya mulai menggoreskan pisau tersebut. Hingga semburat darah segar mulai mengucur dari ujung pisau yang berkilat. Dengan sekali gerakan gus Rasyid bisa mengambil alih pisau yang sebelumnya dikuasai Nada. Lalu melemparnya ke sembarang tempat.

Darah yang mengalir semakin deras dan tak berselang lama tubuh Nada ambruk dalam pelukan gus Rasyid.

**

Gus Rasyid turun dari mobil yang dikendarainya, mobil yang sengaja dia bawa, karena berhubung istrinya sedang libur bekerja. Setelah membuka pintu samping, dibopongnya tubuh Nada yang sudah lemas dan tak berdaya.

“Tolong, Sus,” teriaknya kepada perawat yang berada di loby.

Dia turunkan tubuh Nada ke atas ranjang pesakitan yang dibawa oleh salah satu perawat. Setelahnya perawat tersebut membawa Nada ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan.

Gus Rasyid menjadi semakin bingung, dirinya hanya bisa mondar-mandir di depan pintu. Pikirannya semakin buntu, membuatnya sulit menemukan jalan keluar yang tepat. Dia tidak ingin jika keputusannya akan merugikan salah satunya.

Bertepatan dengan itu, tanpa gus Rasyid sadari, Bella berdiri di ujung lorong rumah sakit. Sedari tadi dia sudah menyaksikan adegan di mana gus Rasyid yang datang dengan membopong tubuh Nada. Lalu sekarang bertambah dengan melihat raut khawatir dari wajah suaminya. Membuatnya berpikir, jika gus Rasyid sangat mengkhawatirkan keadaan Nada.

Rasa sesak semakin mengimpit hatinya yang selalu menampik tentang perasaan yang telah hadir kembali. Semakin besar rasa kecewanya, saat sampai siang ini, gus Rasyid tak ada sekalipun membalas pesannya.

Jangankan dibalas, dibaca saja tidak..

Rupanya ini, yang menyebabkan suaminya melewatkan sarapan pagi buatannya. Menelantarkan puluhan pesan yang dia kirim. Lalu mengabaikan orang yang sangat menyayangi dia, sedang terbaring lemah di ranjang pesakitan.

Baiklah, semua sudah jelas sekarang. Setelah ini dia akan lebih berhati-hati dan tak akan mudah lagi terbujuk dengan omongan manisnya.

“Loh, kok cepet Nduk? Kamu nggak jadi makan?”

Bella tersenyum, lalu menghampiri mertuanya yang sedang duduk di sofa. “Nggak jadi Umi, di kantin full pembelinya,” alibinya.

Rasa lapar yang sebelumnya terasa langsung berubah menjadi kenyang. Nafsunya melenyap bersama dengan pemandangan yang tak sengaja dia lihat.

“Kenapa nggak dibungkus saja, kamu ‘kan bisa makan di sini.”

Bella berganti tertawa, berpura-pura tidak pernah terjadi sesuatu dengan hatinya. Agar sang Mertua tidak tahu dengan apa yang dia alami barusan. “Iya, ya Umi. Kok, aku nggak kepikiran.”


Nduk, Nduk, kamu pasti kepikiran sama Simbah, ya?” Umi ikut tertawa, sekedar untuk berusaha mengobati kekhawatirannya. Meski hatinya belum juga tenang, menunggu sang Ibu yang belum terbangun dari pingsannya.

“Meskipun kamu sedang banyak beban, jangan lupakan soal kesehatanmu, ya! Kesehatan diri sendiri itu juga penting,” lanjutnya.

Bella mengangguk patuh.

Maaf, Umi. Bukan maksudku ingin suul adab terhadap Umi. Biar hanya aku saja yang menanggung beban ini. Beban Umi sudah cukup berat sekarang. Tak mungkin aku menambahkan beban Umi, yang hanya menyangkut perasaanku saja.

“Suamimu sudah dihubungi, Nduk?”

Bella gelagapan, bingung mencari jawaban yang tepat tanpa membuat Umi curiga. “Sudah, Umi. Sekarang di tokonya masih sibuk dan kebetulan ada polisi datang yang ingin mengurusi masalah Atmo kemarin.”

Beruntung Bella bisa mendapatkan ide yang langsung melintas di otaknya.

“Rupanya belum kelar juga ya, masalah itu.”

Bella mengangguk membenarkan demi mencari aman.

Semoga saja, Gus Rasyid segera membaca pesan dariku.

Bersambung ....



Maaf ya kalau kemarin ada yang salah paham.
Sudah tahu kan alasannya 😁

Jangan lupa ya tinggalkan jejak

Tekan ⭐, komentar, dan follow akunku

Terima kasih

 

Salam Rindu dari Gus RasyidWhere stories live. Discover now