"Sebentar, Luna." Fatih memanggil.

Kaki Aluna berhenti melangkah. Ia menghadap Fatih dengan tanda tanya di kepalanya. "Kenapa?"

"Duduk dulu, ya? Saya mau bicara," pinta Fatih. Ia menarik tangan Aluna dengan pelan lalu membawanya ke sofa ruang tamu. "Mau saya buatkan teh dulu?"

Aluna memberikan gelengan kepala singkat. Ia mengangkat tangannya, mengikat lagi rambut panjangnya. Ia memilih diam setelah itu untuk mendengarkan Fatih bicara.

"Saya mau mencari pekerjaan. Apa boleh saya cari di ibukota?" tanya Fatih.

Selepas kepulangan Fatih kali ini, tidak ada lagi yang ia sembunyikan dari Aluna. Semua hal diungkapkannya tanpa berniat menutup-nutupi lagi. Oleh karena itu, ia juga berpikir untuk membicarakan urusan pekerjaan ini dengan Aluna.

"Tidak perlu, Kafa." Aluna sempat memejamkan matanya, menghembuskan napas dengan tenang akibat rasa lelahnya, lalu membuka matanya lagi dan melihat Fatih dengan lekat. "Papa mau pensiun. Kamu gantikan Papa saja mengurus perusahaannya, ya?"

Lagi-lagi, Aluna mencoba menawarkan hal itu pada Fatih. Ia tidak menyerah untuk membujuk Fatih agar menerima peluang pekerjaan yang lebih mudah untuk ia jangkau.

"Apa tidak masalah? Saya pernah dipenj—"

"Jangan bilang begitu. Nanti aku marah." Aluna menyela dengan kerutan di keningnya. Wajahnya yang sebelumnya kelihatan tenang kini terlihat sangat jelas sedang menahan kekesalan di dalam hatinya.

"Baiklah, saya tidak akan bicara seperti itu lagi," ucap Fatih dengan lembut agar amarah Aluna luluh. Ia kembali bicara, "tapi perusahaan Papa juga bukan berada di daerah sekitar sini. Apa tidak masalah kalau saya sering meninggalkan kamu lagi?"

Aluna menggelengkan kepalanya pelan. Ia menyandarkan tubuhnya pada Fatih sambil memejamkan matanya. "Tidak masalah."

"Aku yakin, Kafa pasti akan selalu kembali. Rumah Kafa ada di sini," lanjut Aluna.

"Benar, rumah saya ada sini. Bersama kamu dengan Alfa." Fatih menambahkan. "Jadi yang sabar, ya, sayang. Alfa masih kecil dan masih nakal-nakalnya. Saya yakin, seiring waktu ia akan semakin mengerti."

***

"Mang Udin! Alfa mau ikut cuci mobil!"

Sepulangnya Alfa dari sekolah, ia sudah membuat keributan di rumah. Seragamnya ia taruh sembarangan, sepatunya ia letakkan di atas sofa, juga tasnya yang ia biarkan tergeletak di lantai membuat salah satu pelayan harus merapihkan itu semua.

Si anak lelaki yang telah berganti baju itu malah berlari menghampiri Mang Udin yang tengah memegang selang, hendak mencuci mobil di halaman rumah. Karena tidak mampu menolak, ia hanya menurut saat Alfa ikut bergabung bersamanya.

Aluna tengah membawa buku sketsanya saat itu. Niatnya ia akan membuat pola dari desain terbarunya hari ini di studio pribadinya. Fatih pun yang sedang berdiri di dekat jendela depan untuk melihat Alfa memberikan semangat pada Aluna dengan tulus.

"Ap-apa ini ... ?" Padahal Aluna baru sampai ke depan pintu studionya. Tetapi dia sudah dikejutkan dengan ruangan tersebut yang terlihat berantakan hanya karena pesawat kertas mainan yang berserakan dimana-mana.

"Kenapa, Luna?" Dari kejauhan Fatih bertanya. Langkah kakinya mendekat pada Aluna hingga akhirnya tiba di sisinya. Dengan refleks ia berkata, "ya tuhan ..., Alfa nih pasti."

Hembusan napas Aluna terdengar panjang dan berat di sebelah Fatih. Tanpa ragu, ia memasuki ruangannya, meletakkan sketchbook miliknya di atas meja, lalu memunguti pesawat kertas itu.

I'M ALONEWhere stories live. Discover now