Empat puluh delapan

Mulai dari awal
                                    

"Makasih, Aluna. Kalau bukan karena suami kamu yang menutupi semuanya, aku dan Rolfie pasti tidak bisa melangsungkan pernikahan." Sonya berujar lagi selepas pelukannya dengan Aluna berakhir.

"Jangan berterima kasih," sahut Aluna sekali lagi.

Karena hal itu bukan hal yang patut untuk Aluna syukuri sekalipun ia ikut berbahagia atas pernikahan Rolfie dan Sonya.

"Maaf, Aluna." Berlainan dengan Sonya, Rolfie malah mengucapkan kalimat yang berlawanan.

Karena kesulitan yang Aluna dan Fatih alami, juga bukan salah mereka.

"Tidak perlu begitu. Saya akan datang bila sempat."

***

"Bagaimana kabar Aluna, Ta?"

Neta mengamati kakak lelakinya dengan senyuman yang perlahan-lahan terbit di bibirnya. Meskipun rasa sesak mendominasi hatinya karena penampilan Fatih yang lain dari biasanya; selalu rapih, bersih dan segar. Kini Fatih terlihat lebih kacau, berantakan. Ia terlihat seperti tidak terurus juga kelelahan. Lingkaran hitam di sekitar matanya membuktikan itu semua. Juga Fatih yang kelihatan lebih kurus membuat Neta harus menahan dirinya agar tidak menangis saat itu juga.

"Enggak mau nanyain kabar aku dulu nih? Langsung nanya kabar Aluna?" Neta tidak langsung menjawab Fatih.

Alis Fatih tersentak bersamaan. Ia meralat perkataannya, "kabar kamu dan keluarga juga bagaimana?"

Neta tertawa kecil. Sangat pelan karena baik Fatih maupun Neta sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama menyimpan rasa sesak dan sedih di dalam hati agar tidak muncul ke permukaan yang bisa mengakibatkan kacaunya pertemuan kali ini. Karena bila tangisnya sudah dimulai, bisa jadi pertemuan kali ini hanya diisi kesedihan dan juga ratapan pada nasib yang tidak kunjung berbaik hati untuk mereka.

"Neta cuma bercanda kok," kata Neta sambil memalsukan senyumnya. "Semuanya baik. Aluna, Neta, keluarga di rumah, semuanya baik. Bahkan tadi pagi, Aluna ada aja tingkahnya."

"Kenapa Aluna?" Fatih bertanya lagi.

Cara Neta yang menyampaikan kabar dengan positif membawa dampak baik untuk Fatih. Ia terlihat antusias untuk mendengarkan cerita Neta.

"Masa, ya, tadi pagi, Aluna olahraga," ucapnya yang disimak baik-baik oleh Fatih. "Katanya dia gemukan. Kan, aneh. Gemukan tuh wajarlah. Dia lagi berbadan dua." Selepas itu, Neta tertawa lagi. Kali ini, benar-benar lepas dan tidak dipaksakan.

Fatih mengulum senyumnya. Ada sesuatu yang menusuk Fatih diam-diam. Menusuk hatinya hingga terasa mencelos. Ia yang diam-diam mengetahui mengapa Aluna bertingkah aneh seperti itu, tidak mampu berkata-kata. Hanya sebuah kata di dalam hati yang menjadi perwakilan untuk setiap ucapan yang ingin Fatih ungkapkan.

Seandainya.

Seandainya ia ada di sana.

Seandainya ia ada di sisi Aluna.

Seandainya, seandainya, dan seandainya.

Semuanya hanyalah sebuah pengandaian tanpa arti yang hanya mampu membuat rasa putus asa itu semakin tinggi dan mengecilkan harapan yang ada. Karena semakin disadari, pengandaian itu semakin menghancurkan diri dengan fakta yang ada yang tidak sesuai ekspektasi.

"Mas senang kalian semua baik-baik saja," ungkap Fatih sembari menyimpulkan senyum. Rasa lega di hatinya membuat benang-benang kekhawatiran yang beberapa hari kebelakang mengganggu waktu tidurnya seakan terlepas begitu saja.

"Harusnya Mas yang khawatir sama diri Mas sendiri," ujar Neta, menegur Fatih dengan telak. "Mas Fatih kelihatan lebih kurus. Mas lagi kurang sehat, ya?"

"Mau bagaimanapun, ini harus tetap dijalani, Ta. Mas akan berusaha urus diri di sini. Kamu, Aluna, juga keluarga di rumah, jangan khawatir sama Mas, ya? Mas Fatih baik-baik saja di sini." Meskipun Fatih terkesan menghindari diri untuk menjawab pertanyaan Neta, tetapi jawabannya mampu membuat Neta lega.

"Lain kali, aku bawa Alu—"

"Jangan," cegah Fatih dengan cepat.

"Kenapa?" Neta mengernyitkan dahinya, merasa sangat heran dengan respon Fatih yang sampai seperti itu.

"Bilang padanya, Mas akan segera pulang. Jangan izinkan dia ke sini. Mas khawatir kondisinya akan memburuk," ucap Fatih yang mau tidak mau harus dituruti oleh Neta.

Meskipun rasanya rindu,

Meskipun rasanya ingin bertemu,

Fatih harus menahan diri.

Banyak sekali resikonya bila Aluna datang. Bukan hanya kepribadian gandanya yang akan semakin sering muncul karena Aluna yang tidak mampu mengontrol diri dan emosi, tetapi kondisi tubuh Aluna juga akan mengkhawatirkan. Apalagi bila Aluna sampai beraksi seperti dulu.

Menyakiti dirinya.

Melukai dirinya dengan berbagai cara.

Fatih tidak mau itu terjadi lagi. Ia ingin Aluna selalu sehat dan baik-baik saja sampai dirinya kembali nanti.

Tidak peduli sebanyak apa tahun-tahun yang harus Fatih lewati. Tidak peduli sebanyak apa hari-hari sulit yang harus Fatih jalani. Juga tidak peduli sebanyak apa rasa rindu yang harus Fatih tekan kembali.

Asalkan Aluna sehat, Fatih akan merasa kuat.

Asalkan Aluna baik-baik saja, Fatih akan merasa mampu melewati semua masa sulitnya.

Karena Fatih tahu. Sekalipun jarak yang tercipta sangat jauh, Aluna akan selalu ada untuknya. Aluna akan selalu mendukungnya dan selalu menanti kepulangannya.

Untuk saat ini, hanya satu kata yang mampu menjadi penyemangat Fatih menjalani hidupnya dengan lebih kuat, tegar, dan juga sabar.

Pulang.

Suatu saat nanti, akan ada waktunya untuk pulang.

Ke rumah.

Tidak peduli rumah yang manapun itu, asalkan ada Aluna, itulah rumah-nya.

***

Dua part di depan adalah ending.

26 Juli 2021, cerita ini akan tamat.

Jadi, sudah sejauh mana kalian sayang sama tokoh-tokoh dalam cerita ini?

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang