Empat puluh lima

Mulai dari awal
                                    

"Saya pikir, dia melakukan sesuatu pada kamu," tutur Fatih. Ia lalu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

"Jadi karena hal itu, Kafa membawa pistol?" Tiba-tiba saja kepala Aluna terasa pening akibat pemikirannya sendiri. Semua tanda tanya besar yang selama ini tidak memiliki jawaban, justru menampakkan kebenaran dari arah yang Aluna khawatirkan.

"Saya membunuh Alan, Luna. Tidak peduli hal lain yang menjadi penyebabnya, tetapi Alan telah meninggal karena ulah saya," ucap Fatih. Ia tidak menyadari bahwa ucapannya membawa dampak yang besar untuk Aluna saat ini.

Tangan Aluna yang telah mendingin sejak tadi kini perlahan-lahan menyentuh tangan Fatih dengan gemetar. Buliran bening tidak disangka-sangka akan mengalir di pipi Aluna tanpa bisa dihalau. "Kafa ... bohong, kan?"

Fatih menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembusnya pelan-pelan. Ia mencoba tetap tenang untuk menghadapi keterkejutan yang melanda Aluna. Dengan hati-hati, Fatih menyingkirkan tangan Aluna. Dari gerakannya itu membuat jarak yang cukup besar bagi Aluna antara dirinya dan Fatih.

"Kenapa Kafa?"

Ingin rasanya Aluna melontarkan dua kata itu pada Fatih. Namun sepertinya, kenapa dan mengapa itu sudah tidak penting lagi untuk saat ini. Karena Fatih terlihat teguh pada pilihannya sendiri.

"Bagaimana cara Kafa mengaku melakukan pembunuhan di saat Kafa berwajah sebagai orang yang Kafa bunuh? Apa Kafa ada bukti?" Aluna mencoba menggoyahkan keyakinan Fatih atas pilihannya.

"Aluna." Fatih memanggil dengan pelan. Ia melihat Aluna tepat pada bola matanya, menyakinkan Aluna bahwa semuanya akan baik-baik saja sekalipun dirinya juga penuh dengan kekhawatiran. "Saya akan segera kembali, Aluna. Kamu hanya perlu menunggu sedikit lagi sebelum semuanya benar-benar selesai."

Aluna menggelengkan kepalanya dengan pelan. Bersamaan dengan matanya yang telah basah oleh air mata. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis yang hendak keluar dengan hebat.

Untuk itu, Fatih membawa Aluna ke dalam rengkuhannya. Ia memeluk istrinya dengan erat, seakan-akan setelah ini ia tidak akan mampu melakukan hal itu lagi. Ia mengelus kepala Aluna dengan penuh kasih sayang. Mencoba menenangkan tubuh Aluna yang gemetar.

Tidak ingin terus merasakan sesak di dadanya karena menahan tangis yang lebih keras, Aluna melepaskan pelukannya lebih dulu. Ia beranjak dari hadapan Fatih tanpa berbicara apapun lagi, menuju ke kamarnya.

Fatih menghembuskan napas berat. Ia melihat kepergian Aluna sampai sosok istrinya benar-benar tidak lagi terlihat, menghilang dibalik undakan tangga.

Bangun dari duduknya, Fatih bergerak menuju dapur untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia meneguk air dalam gelas yang diambilnya dengan rakus hingga tanpa sadar meletakkan gelas dengan kencang ke atas meja bar di dapur.

"Ya Tuhan. Saya pikir siapa. Ternyata Mas Fatih."

Fatih mengarahkan pandangannya pada Mang Udin yang datang sambil membawa kemoceng. Sepertinya, sopir keluarga Aluna tersebut berjaga-jaga, khawatir ada maling yang membuat kerusuhan di dapur.

"Hm, iya, Mang." Fatih memalsukan senyumnya. Ia melangkah keluar dari dapur sebelum akhirnya Mang Udin kembali bicara.

"Selamat, ya, Mas."

Langkah kaki Fatih terhenti. Ia berbalik lagi untuk melihat wajah Mang Udin yang tersenyum lebar seakan penuh dengan suka cita.

"Selamat untuk?" tanya Fatih dengan bingung.

"Untuk kehamilan Nona Aluna. Memangnya Mas Fatih belum diberi tahu?" Mang Udin membelalakkan matanya, terkejut dengan pertanyaan balik dari Fatih. "Aduh, Mas. Maaf. Saya sepertinya mengacaukan kejutan Nona Aluna. Mungkin Nona sedang menyiapkan waktu yang tepat untuk memberitahu Mas Fatih."

Waktu yang tepat.

Sepertinya hal itu bukanlah alasan yang sebenarnya menurut Fatih. Karena setelah obrolan malam ini dengan Aluna, tidak akan ada lagi waktu yang tepat untuk istrinya mengungkapkan berita membahagiakan itu di saat kesedihan melanda hatinya.

"Terima kasih infonya, Mang. Saya ke kamar dulu," pamit Fatih.

Mang Udin buru-buru menyahut, "iya, Mas."

Bersamaan dengan Fatih yang menuju kamarnya, Mang Udin merutuki dirinya karena merasa bersalah telah memberitahukan berita yang harusnya disampaikan langsung oleh Aluna.

Setibanya di kamar, Fatih lebih dulu melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Ia menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya. Selepas itu, barulah ia mendekati Aluna yang telah terbaring di kasur lebih dulu dengan mata yang terpejam.

Fatih naik ke atas kasur. Ia mendekap erat tubuh Aluna yang berbaring dengan posisi memunggunginya —seolah enggan menghadap ke arahnya. Ia menempelkan kepalanya pada bahu Aluna sambil ikut memejamkan mata.

"Maaf."

Satu kata itu Fatih ucapkan dengan setengah berbisik di telinga Aluna dengan penuh ketulusan. Ia tidak sadar bahwa Aluna diam-diam mendengarnya sambil menahan air mata yang telah memenuhi pelupuk matanya.

"Maaf, Luna."

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang